Pengamat pendidikan, Doni Koesoema menjelaskan, ada tiga hal yang perlu dijelaskan oleh Kemendikbud perihal desain dan aturan baru tersebut.
Bukan soal pungutan yang dilayangkan sejumlah kalangan, melainkan menyangkut independensi, mekanisme sanksi dan transparansi serta mekanisme pertanggungjawaban Komite Sekolah.
"SK Komite Sekolah itu yang memberikan Kepala Sekolah, nah kalau Kepala Sekolah memilih anggota Komite Sekolah yang bisa diajak kongkalikong bagaimana?" terang dia saat dikontak, Senin (16/1).
Seperti halnya desain lama, penentuan anggota Komite Sekolah yang terdiri dari orang tua siswa, tokoh masyarakat dan akademisi atau pakar pendidikan, dalam Permen 75 juga tetap berada ditangan Kepala Sekolah.
Doni khawatir, keberadaan Komite Sekolah tidak independen. Sebab, Kepala Sekolah bisa saja menentukan anggota Komite yang gampang diajak kongkalikong.
Kedua, lanjut dia, menyangkut mekanisme pemberian sanksi manakala Komite dan Kepala Sekolah melanggar aturan dari kebijakan yang telah ditetapkan bersama. Dalam Permen 75 soal mekanisme ini tidak diatur sehingga menimbulkan pertanyaan.
Terakhir, yakni menyangkut transparansi dan mekanisme pertanggungjawaban kebijakan penggalangan dana oleh Komite Sekolah. Dalam prosesnya, apakah dana yang diberikan donatur nantinya masuk ke rekening sekolah atau rekening Komite Sekolah dan bagaimana bila diselewengkan.
"Itu bagaimana mekanismenya? Lalu Komite Sekolah diminta membuat AD/ART, berarti Komite seperti yayasan. Karena untuk mencari dana harus punya yayasan (lembaga), kan enggak bisa individu," terang Doni.
"Apakah punya legal seperti yayasan? Dia (Komite) kan bukan lembaga dibawah sekolah, tapi lembaga parter sekolah. Mekanisme pertanggungjawabannya juga bagaimana kalau demikian, kalau tidak diatur dengan jelas ini dikhawatirkan jadi ladang menarik keuntungan," sambungnya.
[sam]
BERITA TERKAIT: