Risma Harus Relakan Kursi Walikota Surabaya

Jika Keok Di Jakarta

Kamis, 11 Agustus 2016, 09:35 WIB
Risma Harus Relakan Kursi Walikota Surabaya
Foto/Net
rmol news logo Walikota Surabaya Tri Rismaharini alias Risma digadang-gadangkan maju di Pilgub DKI 2017. Jika benar, Risma harus menang. Kalau keok, risikonya sangat besar. Kursi Walikota Surabaya yang telah digondolnya pasti melayang.

Jika benar Risma akan diusung di Pilgub DKI, maka pilihannyaharus menang. Jika kalah, risikonya sangat besar. Yang pasti, kursi Walikota Surabaya hilang.

Pasalnya, jika Risma nyalon Gubernur DKI, maka dia harus mengundurkan diri atau otomatis mengundurkan diri sejak ditetap­kan sebagai calon gubernur. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, Pasal 7 Ayat (2) huruf P.

"Kalau Risma harus pergi ke Jakarta, tidak ada pilihan lain harus menang. Kalau kalah, Risma tidak akan jadi walikota lagi, dan dipastikan akan banyak mendapatkan cemooh habis-ha­bisan dari warga Surabaya," kata Ketua DPD PDIP Jawa Timur (Jatim), Kusnadi, kemarin.

Hingga hari ini, DPD PDIP Jatim belum mendapatkantembusan intruksi soal penunjukanRisma sebagaicagub DKI. "Penetapan cagub DKI itu domain­nya Bu Megawati sebagai ketua umum," tambahnya.

Ahok Pasrah


Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pasrah jikaada partai pengusungnya mbale­lo. Nasib Ahok untuk menerus­kan kekuasaan hingga 2022 pun ada di tangan tiga partai (Golkar, Hanura dan Nasdem).

Bila satu saja parpol pengusungnya mundur, dipastikan Ahok batal maju. "Bagaimana mau ikut? Mau koalisi juga dari mana? Teman Ahok sudah lewat. Andalan kita kan (awalnya) memang independen. Cuma kankita menghargai mereka juga ketika partai menghargai Teman Ahok, maka saya dan Teman Ahok juga menghargai partai, menaruh kepercayaan," kata Ahok di Jakarta, kemarin.

Namun, bekas Bupati Belitung Timur ini santai menang­gapi isu adanya kader internal Partai Golkar yang tidak setuju mendukung Ahok di Pilgub DKI 2017.

"Terserah dia lah, setuju tidak setuju. Saya mah santai saja. Yang penting kan sekarang dia (Golkar) sudah putuskan (mendukung), kita pendaftaran 19 sampai 21 September. Ya tunggu saja. Masih lama kok. 17 Agustus saja belum. Jadi masih sebulan lebih," keluhnya.

Apabila tiga partai pendukung­nya pecah, termasuk Nasdem dan Hanura karena masih ada gejolak di Golkar, maka Ahok pun siap untuk tidak ikut kontestasi Pilgub DKI 2017.

"Tapi kalau politik kan jangka panjang, kaya maraton dan maraton lagi. 2019 kita bisa bangkit lagi. Nah andalan kami kanTeman Ahok, partisipasi masyarakat, lalu partai mendukung, yakita respek dong, jadi sama-sama kasih Anda kehormatan, sama-sama kita menghargai. Tapi kalau dia batalkan, ya saya kira partai masa mau menodai dia, kalau sampai mau nekat juga ya silakan saja," kata Ahok.

Dia tetap yakin dan optimistis, ketiga partai itu solid men­dukungnya dan tidak akan meninggalkannya begitu saja. Terlebih ia pun kenal baik dengan ketua umum ketiga partai itu, Surya Paloh, Wiranto dan Setya Novanto.

"Semalam saya baru makan dengan Pak Surya Paloh, ngobrol macam-macam. Kami teman dari muda, belasan tahun sudah berteman baik dengan mertua saya, bayangin saja teman begitu lama," pungkasnya.

Pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing mengatakan, nasib Ahok kini ada di genggaman tiga partai politik pengusung.

Realitas politik itu, suka tidak suka membuat posisi tawar Ahok turun sedangkan posisi tawar partai naik melejit.

"Sekalipun tampaknya sudah ada tiga partai mengusungnya, namun sampai saat ini belum dapat dipastikan Ahok menjadi cagub sebelum didaftarkan ke KPU DKI Jakarta, sebagai ba­longub," ujar emrus.

Sebab, perubahan peta politik, termasuk partai yang akan mengusungnya, sangat-sangat cair, secair petahana "mengabaikan" sejuta KTP dukungan. Karena itu, dinamika transaksi komunika­si politik Ahok dengan tiga partai pengusung sangat menentukan, apakah petahana jadi cagub atau berhenti di tengah jalan.

"Dalam suatu proses komu­nikasi politik dipastikan terben­tuk kesepakatan-kesepakatan politik. Dalam membangun kesepakatan tersebut takter­hindarkan terjadi transaksi ke­pentingan politik antar sesama partai pengusung dan antar partai dengan calon petahana. Biasanya terjadi tawar-menawar kepentingan politik. Contoh sederhana, bisa jadi atau hampir pasti, Heru bukan wakil lagi pasangan Ahok," jelasnya.

Rendahnnya posisi tawar itu pasti berdampak pada semua bidang kepentingan politik, termasuk visi politik petahana terhadap kepentingan partai pengusung. "Terus terang, ini bukan pekerjaan gampang bagi Ahok. Jika ingin pasti dicalonkan oleh partai, Ahok membutuhkan tenaga, waktu, pikiran dan ter­masuk "logistik" politik untuk melakukan pendekatan dengan kemungkinan tiga partai pengusung," tukasnya.  ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA