Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Komisi B DPRD Bojonegoro Ali Machmudi, menanggapi berhentinya produksi kilang mini TWU di Desa Sumengko, Kecamatan Kalitidu, Bojonegoro.
"Kami mendesak pemerintah bisa memasok kembali minyak mentah produksi Blok Cepu ke kilang minyak yang dikelola TWU," kata Ali, kepada wartawan.
Menurut Ali, pemerintah semestinya segera memberikan kepastian pasokan minyak mentah kepada kilang minyak yang dikelola TWU karena kilang itu telah berhenti berproduksi sejak 20 Januari 2016.
Kini TWU masih dalam posisi menunggu ketetapan pemerintah menentukan harga minyak mentah dengan formula harga mulut sumur.
Ali menegaskan, keberadaan kilang mini TWU sesungguhnya telah membawa dampak ekonomi dan sosial yang signifikan kepada masyarakat sekitar dan Pemerintah Bojonegoro secara umum.
"Keberadaan kilang minyak yang dikelola TWU membawa dampak keterlibatan tenaga kerja, juga angkutan truk bahan bakar minyak (BBM), juga kegiatan ekonomi masyarakat lainnya di sekitar kilang minyak," jelas dia.
Sejalan dengan Ali, Sekretaris Komisi B DPRD Bojonegoro, Lasuri, mengatakan, pihaknya akan mengambil langkah aktif untuk melakukan pertemuan baik dengan Kementerian ESDM dan Komisi VII DPR untuk mendorong pemerintah melakukan penetapan harga mulut sumur bagi kilang mini milik PT TWU.
Menurut Lasuri, harga dengan titik serah mulut sumur untuk TWU dianggap lebih wajar dibandingkan dengan titik serah di FSO Gagak Rimang yang memperhitungkan cost recovery, mengingat TWU mengambil minyak mentahnya di mulut sumur Lapangan Banyu Urip.
Keberadaan TWU juga dirasakan positif oleh pengusaha transporter di wilayah Bojonegoro. Pemilik transporter PT Bahana Multiteknik, Budi Utomo, mengatakan bahwa bisnisnya secara otomatis terhenti akibat TWU berhenti beroperasi.
"Sekarang boleh dibilang kita sedih dan khawatir dimana bisnis kita semua tergantung dengan yang ada di Bojonegoro ini, khususnya di TWU. Secara langsung BMT akan mengalami kerugian besar atau mengalami hal yang sama seperti TWU," kata Budi.
Selama ini, Budi menjalankan bisnis transporternya dengan mengangkut hasil olahan kilang mini TWU kepada konsumennya di sekitaran pulau Jawa. Menurutnya, hasil olahan TWU khususnya produk HSD (High Speed Diesel) lebih bagus dibanding dengan hasil olahan dari produk impor.
"Minyak yang dari impor itu kurang bagus, beda dengan posisi di kilang TWU. Jadi karena kita sudah mengalami beberapa transaksi baik di Jawa ataupun di tempat lain, bahwa minyak HSD khususnya produk dari TWU itu beda. Bahkan bagus banget," imbuh Budi.
Ditambah lagi harga produk HSD TWU yang non-subsidi tersebut bisa bersaing dengan harga HSD atau solar yang ada di pasar yang merupakan produk yang disubsidi.
[ald]
BERITA TERKAIT: