Dalam mengenang semangat kepahlawanan Martha Christina, digelar pemutaran film dokumenter berjudul
Kabaresi dan diskusi bertema
Save Maluku.
Menurut Direktur Eksekutif Archipelago Solidarity Foundation, Engelina Pattiasina, dalam menyelenggarakan acara ini, pihaknya menyadari adanya keterbatasan informasi mengenai Martha Christina Tiahahu, karena meninggal dalam usia remaja sekitar 17 tahun.
"Apalagi, beliau hidup dalam periode 1800-1817, di mana dokumentasi dan pencatatan belum berkembang baik. Bahkan, gambar diri Martha Christina Tiahahu merupakan hasil lukisan, yang bisa jadi berbeda dengan sketsa yang dibikin pada saat ditangkap Belanda," kata Engelina di sela acara di Hotel Mandarin, Jakarta, Selasa (12/5).
Keterbatasan informasi ini, juga mendapat konfirmasi dari peserta pertemuan ketika itu, katanya, muncul pandangan mengenai pentingnya film mengenai tokoh seperti Martha Christina Tiahahu, Pattimura dan sebagainya. Memang harus diakui, sampai kini belum ada film seperti itu.
"Merespon usulan itulah, kami dari Archipelago Solidarity Foundation dengan berbagai keterbatasan mencoba membuat langkah kecil, yang kiranya menginspirasi berbagai pihak untuk membuat film yang jauh lebih baik dan sempurna sebagai sebuah film," ujarnya,
Para undangan yang mayoritas berasal dari Maluku menyaksikan pemutaran film dokumenter mengenai jejak perjuangan Pattimura.Selain menyaksikan film dokumenter, acara dilanjutkan dengan sesi diskusi
Save Malukuâ€. Menurut Engelina, tema ini masih relevan dengan kondisi saat ini.
"Wilayah Maluku perlu mendapat perlindungan dari ancaman kerusakan lingkungan dan sumber daya alam. Sumber daya alam di Maluku, di satu sisi menjadi berkat, tetapi juga mengandung petaka di sisi yang lain. Tidak boleh terjadi, eksploitasi sumber daya alam mengorbankan lingkungan termasuk kekayaan kanekaragaman hayati di Maluku," tegasnya.
Dia mencontohkan kasus penyelundupan Kakatua Jambul Kuning dari Maluku ke Surabaya. Burung dibius dan disekap dalam botol air mineral. Ini sangat keterlaluan. Padahal, burung jenis itu merupakan spesies langka dan wajib mendapat perlindungan.
Begitu juga soal berita penangkapan ikan di Benjina, Kepulauan Aru. Penangkapan ikan di perairan Maluku, sudah bukan rahasia, karena menjadi pengetahuan umum masyarakat. Potensi ikan yang besar di Maluku hanya diangkut untuk melayani kebutuhan ikan dunia.
"Kita bisa bayangkan, kalau satu perusahaan saja bisa mengoperasikan 100 kapal, kira-kira berapa ribu ton ikan dari Maluku. Tetapi, kekayaan seperti itu belum memberikan kesejahteraan bagi rakyat Maluku. Pertanyaan untuk kita semua. Sampai kapan alam Maluku dieksploitasi?," tanya Engelina.
Makanya, dalam acara ini pihaknya berharap adanya solidaritas untuk menyelamatkan lingkungan Maluku, termasuk ketertinggalan kesehatan dan pendidikan. Apalagi, sesuai Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2013, Maluku merupakan povinsi nomor urut empat termiskin. Data Susesmas itu menunjukkan, wilayah Maluku dan Papua merupakan wilayah termiskin di Indonesia.
Adapun pembicara diskusi Save Maluku adalah Prof. Dr. Kuntoro Mangkusubroto Prof. Dr. Mus Huliselan DEA Dr. Otto Nur Abdullah Prof. Dr. Nus Saptenno Dr. William Sabandar Bina Bektiati (Majalah Tempo).
[wid]
BERITA TERKAIT: