Jelang 1 Suro, Hendaknya Semua Pihak Bersikap Memayu Hayuning Bawono

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Minggu, 03 November 2013, 14:43 WIB
Jelang 1 Suro, Hendaknya Semua Pihak Bersikap Memayu Hayuning Bawono
FOTO:NET
rmol news logo Bagi masyarakat Jawa, merayakan 1 Suro atau Tahun Baru Jawa, dipandang sebagai hari yang sakral dan penuh nuansa spiritual, karena secara tradisi turun temurun kebanyakan orang mengharapkan “ngalap berkah” dengan menyucikan diri  melalui laku prihatin untuk tidak tidur semalam suntuk atau selama 24 jam pada saat malam 1 Suro.

Tanggal 1 Suro diperingati sebagai dimulainya kehidupan baru dimana orang membersihkan diri lahir batin, melakukan introspeksi, dengan mengucap syukur kepada Sang Gusti Yang Membuat Hidup dan Menghidupi serta menyadari atas kesempatan teramat mulia yang diberikan oleh Sang Pencipta untuk berbuat yang terbaik, tidak hanya untuk dirinya sendiri dan keluarga terdekatnya, tetapi juga untuk sesama mahluk Tuhan dengan ikut melestarikan jagad ini, yang dalam istilah kejawennya adalah Memayu Hayuning Bawono.

Namun tradisi 1 Suro di lingkungan Keraton Solo menjadi tidak bermakna apabila di dalam pelaksanaannya masih diliputi dengan sikap dengki, dendam, sikap menang-menangan dan maunya sendiri atau semau kelompoknya tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat banyak seperti yang terjadi dalam perseteruan antara Sang Raja Solo dan adik-adiknya yang merupakan putra-putri Almarhum PB XII.

Semasa hidupnya Sri Susuhunan Paku Buwono XII pernah bersabda, bahwa Kirab Pusaka 1 Suro di Surakarta diadakan dengan harapan untuk membantu rakyat supaya hidup selamat, damai, makmur atas perkenan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Selanjutnya sinuwun memeberi dawuh, bahwa di Keraton Surakarta, Kirab Pusaka adalah tradisi untuk memperingati tahun baru 1 Suro. Pusaka-pusaka tersebut dipercaya memiliki daya supranatural yang akan menyebarkan daya magisnya. Selama kirab, semua keluarga Karaton yang terkait dengan upacara tersebut wajib untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa supaya Negara beserta segala isinya berada dalam keadaan selamat. Kirab Pusaka bukanlah pameran senjata, ini adalah manifestasi budaya tradisional yang dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan.

Namun saat ini, perayaan malam 1 Suro masih menjadi tanda tanya, apakah Sinuwun PB XIII yang notabene adalah Raja dari Keraton Surakarta akan terlibat langsung dalam perayaan tersebut, mengingat seluruh kunci keraton termasuk kunci ruangan pusaka masih dikuasai  oleh Gusti Moeng (G.K.R. Wandansari) padahal dalam tradisi, hanya Sinuwunlah yang berhak mengeluarkan benda-benda pusaka untuk dibawa kirab mengelilingi keraton.

Kerabat Keraton yang pro Dwitunggal, G.P.H. Suryo Wicaksono yang akrab disapa dengan panggilan Gusti Nino mengatakan bahwa selambat-lambatnya dua hari nanti PB XIII akan mengumumkan maklumat secara tertulis ihwal kepastian pelaksanaan Kirab Malam 1 Sura.

“Dalam satu atau dua hari kedepan Sinuhun dan K.G.P.H. Panembahan Agung Tedjowulan akan mengumumkan maklumat tertulis. Termasuk dawuh kepada masyarakat sekitar keraton,” jelas Gusti Nino kepada Rakyat Merdeka Online, Minggu, (3/11).

Secara prinsip, jelas Gusti Nino, PB XIII pernah menyampaikan tetap akan menggelar kirab dengan syarat seluruh kunci keraton diserahkan ke PB XIII, dan kalau semua kunci diserahkan, kemungkinan kirab tetap bisa digelar.

Pemahaman untuk Memayu Hayuning Bawono yang telah ada sejak jaman Panembahan Senopati, yang telah disadari sepenuhnya oleh para pinisepuh Keraton Surakarta, seharusnya menjadi pijakan untuk selalu berbuat baik untuk masyarakat banyak, dan menempatkan Raja Solo, yakni Sri Susuhunan Paku Buwono XIII sebagai junjungan terlepas Sang Raja salah atau benar dalam melaksanakan kebijakannya.

Hal itu sesuai dengan Keppres 23/1998 bahwa kekuasaan tertinggi di keraton adalah raja dan kekuasaan raja itu bersifat absolut.[wid]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA