Idealnya, warga Jakarta yang akan melintasi jalan raya harusÂnya memanfaatkan fasilitas
zebra cross atau JPO. Tingkat keÂamaÂnannya tentu lebih terjamin diÂbanding nekat menyeberang di tengah lalu lintas yang padat.
Tapi, tak sedikit dari fasilitas ini yang akhirnya tak terpakai. BahÂkan, sering kali jembatan peÂnyeberangan beralih fungsi. MiÂsalnya, JPO berubah jadi pasar daÂdakan. Hal ini bisa ditemui di JPO Grogol, Jakarta Barat, tepatÂnya di depan RS Sumber Waras.
Menanggapi hal ini, pengamat sosial dan budaya dari UniverÂsiÂtas Sahid Jakarta, Aa Bambang meÂnyatakan wajar hal tersebut terjadi. Sebab, jika dilihat dari keÂbiasaan, masyarakat mentalnya hanya ingin enaknya saja. Lebih memilih menerobos jalan saja keÂtimbang menggunakan JPO.
Tingkat kedisiplinan warga menurutnya masih rendah. PasalÂnya, jalan yang sudah dipagar pemÂbatasnya sekali pun, masih terlihat warga yang berusaha meÂlewatinya. Bahkan sampai ada yang dirusak agar bisa menyeberang.
“Peribahasa berakit-rakit ke huÂlu, berenang-renang kemudian sepertinya tidak berlaku. Karena warÂga ogah naik ke jembatan. MeÂreka lebih memilih menyeÂbeÂrang langsung, tanpa harus meÂlewati jembatan,†ucapnya keÂpada
Rakyat Merdeka.Bambang mengakui, minimÂnya jembatan penyeberangan, juÂga menjadi salah satu faktor renÂdahnya minat masyarakat mengÂgunakan jembatan. Tapi yang lebih utama, katanya, maÂsyarakat Jakarta harus mengubah pola pikirnya untuk mengutamaÂkan jembatan penyeberangan.
Dia menyarankan Pemprov DKI Jakarta membuat terÂobosan. Yakni dengan mengikuti kebiaÂsaan masyarakat. Usahakan agar fasilitas penyeberangan ini membuat yang menyeberang meÂrasa nyaman. Bisa dengan memÂbuat fasilitas penyeberangan beÂrupa terowongan. Kemudian diÂsediakan petugas untuk membeÂrikan kenyamanan kepada penyeÂberang. Sebab, sering terjadi keÂjaÂhatan di JPO.
“Pemprov harus mengubah keÂbiasaan lama dengan membangÂun jembatan. Memang perlu diaÂkui, membuat terowongan penyeÂberangan jauh lebih mahal ketimÂbang jembatan. Itu risiko untuk bisa melakukan perbaikan,†teÂgasÂnya.
Pengamat perkotaan dari UniÂversitas Trisakti, Nirwono Yoga, meminta Pemprov DKI segera mengevaluasi keberadaan dan perawatan JPO di Jakarta. TerleÂbih lagi, sebagian besar JPO yang ada mubazir tidak digunakan, bahkan jauh dari harapan.
Ada JPO yang tidak mengguÂnakan kanopi, sehingga pengguÂnanya kepanasan dan kehujanan. Sebagian lagi dipenuhi pedagang kaki lima dan menjadi sarang preÂman. Belum lagi faktor kebersiÂhanÂÂnya yang tidak dijaga. “Tak heÂran bila warga DKI enggan mengÂgÂunakan JPO,†ujarnya.
Sebelumnya, sudah banyak warÂga yang mengeluhkan kurang terawatnya keberadaan JPO. SaÂlah satunya jembatan penyebeÂraÂngan Sunter, di Jalan Danau SunÂter Utara, Tanjung Priok yang tak terrawat.
Kemudian di Jalan SuryoÂpraÂnoÂÂto, wilayah Kelurahan PeÂtojo UtaÂra, Kecamatan Gambir, JaÂkarta Pusat. Ramainya lalu lintas kendaraan di Jalan SuryoÂpranoto, membuat kawasan itu rawan kecelakaan. Warga setemÂpat meÂminta di kawasan itu diÂsediakan JPO, sehingga memperÂmudah akses warga.
“Kami sangat khawatir menyeÂbeÂrang di Jalan Suryopranoto. Rata-rata kendaraan melintas berkeÂcepatan tinggi. Bahkan, beberapa kali terjadi kecelakaan. Untuk itu, kami meminta diÂbuatkan JPO,†ujar Rahmat HiÂdayat, anggota DeÂwan Kelurahan (Dekel) KeluÂrahan Petojo Selatan.
[RM]
BERITA TERKAIT: