Padahal, di luar kawasan itu ditengarai tidak dikenakan sewa. Jumlahnya pun diduga ratusan titik. Diduga, terjadi penguapan reÂtribusi berjumlah miliaran kaÂÂreÂna tidak masuk ke kas daerah.
Bahkan, dugaan tersebut suÂdah menjadi rahasia umum di kaÂlangan pengusaha dengan okÂnum pejabat di Pemprov DKI. SoalÂnya, bagi pengusaha, tidak adaÂnya NSR justru mengÂuntungkan.
“Jika jumlah pajak dari reklaÂme selama ini sekitar Rp 225 miÂliar, jumlah retribusi yang tiÂdak masuk ke kas daerah dari NSR di titik itu jumlahnya hampir saÂma dengan jumlah pajak itu,†ujar Ketua Serikat Pengusaha Reklame Jakarta (SPJR) Didi O Affandi.
NSR yang seharusÂnya disetorÂkan dibagi dua. Yakni antara peÂngusaha bersangkutan dengan oknum pejabat. Ditanya siapa okÂÂnum pejabat dan oknum pengusaha itu, Didi engÂgan meÂnyebutkan.
“Saya tidak mau menyebut itu oknum. Jika merujuk pada Perda Nomor 7 tahun 2004 tentang rekÂlame, tidak ditariknya NSR pada titik swasta di luar white area dan kendali ketat berarti meÂlangÂgar. Tapi mau menarik atau tiÂdak, itu juga haknya asisten pemÂÂÂbangunan. Tidak bisa diperÂsalahkan. Mereka kan mengguÂnaÂkan haknya tidak menarik NSR,†terangnya.
Keberadaan NSR memang sejak lama menjadi kontroversi. Dalam Perda Nomor 7 tahun 2004 tentang reklame Pasal 4 Ayat 1 disebutkan, setiap peÂmanÂÂfaatÂan titik reklame pada saÂrana dan prasarana kota diÂkenaÂkan sewa titik reklame.
SemenÂtara pada Pasal 6 Ayat 1 diseÂbutkan, pemanfaatan titik reklaÂme di luar sarana dan praÂsarana kota dikenakan NSR. PerÂsoalan munÂcul ketika pemanÂfaatan titik rekÂlame tertentu di luar sarana dan prasarana kota dengan perÂsetujuan prinsip dari asisten pemÂbangunan.
“Persetujuan prinsip ini keÂmudian dianggap izin. Padahal tidak. Kalau instansi lain tidak memperbolehkan, izin tentu tiÂdak bisa diterbitkan,†ungkapnya.
Sesuai amanat Perda, lanjut Didi, sewa atau NSR seharusnya ditetapkan untuk seluruh zona reklame. Jika ada titik-titik yang tidak ditetapkan NSR-nya, hal itu perlu diselidiki lebih lanjut. Mengingat tidak dipungutnya NSR berarti telah merugikan daerah. Baik itu dibiarkan tanÂpa diÂtarik, atau ditarik namun tidak masuk kas daerah.
Bahkan, yang mengherankan, menurutnya, selain ada yang tiÂdak ditarik, ada juga yang diÂtarik ganda. Satu titik muncul dua peÂrintah memÂbayar NSR dengan jumlah yang berbeda.
Buruknya sistem penyelengÂgaraan reklame tersebut, masih menurut Didi, sempat dikeluhÂkan di hadapan Dinas Pelayanan Pajak. Sehingga diusulkan diÂnas ini bersedia mengurus baÂnyakÂnya NSR titik reklame yang terÂbengkalai tersebut. NaÂmun, inÂstansi penarik pajak itu enggan melakukannya dengan alasan tertentu.
Sementara Pemprov, dari wakÂtu ke waktu tidak memiliki keteÂgasan soal reklame dengan beÂlum adanya Pergub. SK penyeÂlenggaraan reklame yang saat ini digunakan mengacu kepada atuÂran lama. Yakni, Keputusan GuÂbernur Provinsi DKI Jakarta NoÂmor 37 tahun 2000 dan KeputuÂsan Gubernur Provinsi DKI JaÂkarta Nomor 112 tahun 2000.
Hingga saat ini, kedua aturan itu masih terus digunakan meskiÂpun sudah muncul Perda Nomor 7 tahun 2004. Sesuai ketentuan, jika muncul aturan baru, aturan lama secara otomatis gugur. Yang menjadi persoalan, aturan baru belum ada aturan pelaksaÂnaÂnya hingga saat ini dalam benÂtuk Pergub serta aturan lainnya.
“Saya juga perlu mengklariÂfikasi soal white area. Sarana kota tidak termasuk. Yang diÂlaÂrang itu titik tumbuh atau seÂtiap reklame yang menggunakan konÂstruksi. Itu 200 meter harus streril dari white area,†pungÂkasnya.
Kepala Badan Pengelola KeÂuangan Daerah (BPKD) DKI Jakarta SukÂri Bey mengÂaku khiÂlaf atas munculnya peleÂlangan titik rekÂlame di kawasan white area. Munculnya titik rekÂlame white area yang dilelang sebaÂgaiÂmana tercantum dalam peÂnguÂmuman lelang tertanggal 1 November 2010 di salah satu meÂdia massa itu dianggapnya seÂbuah keteledoran.
“Kami harus berani mengakui secara gentle. Kami memang khiÂlaf soal itu (lelang reklame di whiÂte area). Sehingga, khusus titik jembatan penyeberangan orang (JPO) Jalan Sudirman dibatalÂkan atau dicabut,†aku Sukri.
Dalam pengumuman lelang rekÂlame bernomor 15/LLG/PPTR/XI/2010 itu, ada delapan titik reklame di Jakarta Pusat yang dilelang. Salah satunya maÂsuk kawasan white area. Yakni, titik JPO Jalan Jendral Sudirman depan Gedung Bank Permata/Hotel Le Meridien Kecamatan Tanah Abang. Lelang titik rekÂlame pada sarana dan prasarana kota dilakukan berdasarkan Nota Dinas Nomor 4350/-1.752.11 tanggal 18 Oktober 2010.
“Billboard dan JPO memang tidak boleh. Yang masih terpaÂsang sampai jatuh tempo tidak dilelang lagi. Kalau kemarin yang dilelang ada 10 titik, dibaÂtalkan satu titik. Jadinya sembilÂan titik,†ungkapnya.
Namun, beberapa titik reklame lain di JPO tetap akan dilelang lantaran tidak termasuk di kawasan white area. Diakui SuÂkri, white area akan diprioriÂtasÂkan di Jalan Sudirman-ThamÂrin. Lalu Jalan Gatot Subroto, sepuÂtar Monas, Tugu Tani, posÂpol, titik interchange seperti SeÂmanggi, Pluit dan Cawang.
SeÂmentara JPO dan halte bus yang sebelumnya juga disebut white area, Sukri mengklariÂfiÂkasi, tetap boleh dilelang seÂpanÂjang tidak berada di area SuÂdirÂman-Thamrin, seperti dilelangÂnya titik reklame di 200 halte bus. Namun jika titik-titiknya tiÂdak berada di Sudirman-ThamÂrin, dia menjelaskan, tetap diperÂbolehkan.
Menurut Sukri, kawasan white area akan dilaksanakan secara konsisten lantaran sudah ada komitmen bersama dan dijaga, meskipun secara hitam putih aturannya belum ada.
Pada awal 2011, reklame di kawasan white area sudah habis, termasuk di JPO. Saat ini yang tersisa hanya reklame di sebelah Kedutaan Jerman.
“Rencananya, agar penangaÂnan reklame tidak tumpang tinÂdih, akan dibuat UPT (Unit PeÂngelola Teknis-red) yang secara khusus mengurusnya. Ancang-ancangnya, UPT berada di baÂwah Dinas Pelayanan Pajak. SeÂhingga, pelayanan reklame satu pintu. Tidak lintas SKPD (SatuÂan Kerja Perangkat Daerah –red) seperti saat ini,†terangnya.
Sementara terkait NSR yang tidak memiliki patokan baku, hal itu lantaran titik-titik tertentu niÂlainya berkembang. Sehingga, beÂrapa nilai sewa tidak bisa diÂpatok dengan angka pasti. Setiap tahun bisa berubah. Antara titik yang strategis dan tidak strategis berbeda nilainya dan bisa bergeÂser setiap saat.
“Jadi menghitungnya saat akan dilakukan lelang. Kalau ekoÂnomi tumbuh baik, apa nilai tetap? Kan tidak. Ada hituÂnganÂnya itu. Dibuat konsultan UI dan masih layak. PaÂyung hukumnya SK gubernur,†terangnya.
Lebih Rp 225 M Menguapdugaan menguapnya retriÂbusi daeÂrah dari nilai strategis reklame (NSR) ditengarai meÂlebihi Rp 225 miliar. Hal itu berdasarkan informasi yang maÂsuk ke KoÂmisi C DPRD DKI.
“Pajak itu hanya kompoÂnen yang paling kecil. Kami dapat informasi, retribusi yang meÂnguap melebiÂhi Rp 225 miÂliar atau di atas pemasukan paÂjak reklame,†ujar anggota KoÂmisi C DPRD DKI Jakarta Mujiono.
Diakuinya, NSR yang sehaÂrusÂnya masuk ke kas daerah meÂlalui pendapatan lain-lain selaÂma ini tidak pernah dilaporkan secara rinci. Misalnya, berapa jumlahnya dan didapat dari beÂrapa titik.
Hal itu memang sangat rentan menjadi ‘ladang’ bagi oknum pejabat lantaran besaran retriÂbusi yang masuk bisa dimaniÂpulasi. Dari pengakuan para pengusaha yang mengadu ke Komisi C, para pengusaha saÂngat sepakat jika pajak reklame dinaikkan hingga 200 persen.
Asalkan, pungutan liar yang selama ini terjadi bisa diberanÂtas habis. Mengingat, setoran setiap titik untuk mengurus ijin rekÂlame jumlahnya berlipat ganÂda. Jika dirata-rata sekitar lima persen dari total produksi.
Belum adanya kepastian huÂkum dalam penyelenggaraan rekÂÂlame, diakui Mujiono meÂmang dilematis. Seperti NSR, sesuai Perda Nomor 7 tahun 2004 tenÂtang reklame Pasal 4 Ayat 1, setiap pemanfaatan titik reklame pada sarana dan praÂsarana kota dikeÂnakan sewa titik reklame.
Sementara pada Pasal 6 Ayat 1, pemanfaatan titik rekÂlame di luar sarana dan prasaÂrana kota dikenakan NSR. Meskipun beÂlum ada turunan Pergub atau keÂputusan gubernur sebagai turuÂnan dari Perda Nomor 7 tahun 2004, tidak memungut NSR tetap saja melanggar ketentuan. Apalagi, lanjutnya, jika diÂpuÂngut dan retribusi tidak masuk ke kas daerah.
Pihaknya mendeÂsak Gubernur DKI JakarÂta Fauzi BoÂwo meÂnyelidik lebih lanjut keÂganjilan itu. Apa yang menjadi dasar pejabat terkait tidak meÂmuÂngut retribusi daeÂrah dari NSR. OkÂnum pejabat instansi maÂna yang terlibat dan berapa keÂrugian daeÂrah yang ditimbulkan.
Sebab, masih menurut MujioÂno, tidak melaksanakan kewaÂjiban memungut NSR yang telah diamanatkan perda atau menyeÂlewengkan kewajiban yang berÂdampak pada kerugian negara bisa dikategorikan seÂbagai tindaÂkan korupsi. ApalaÂgi, jika NSR sebenarnya telah ditarik namun tidak masuk ke kas daerah.
“Selain NSR, ada pungutan lain yang cukup banyak. Ini yang selama ini dikeluhkan. Makanya, mereka sepakat saja jika pajak reklame dinaikkan 200 persen, asalkan pungutan liar bisa ditertibkan. Atau miniÂmal dikurangi,†katanya.
Selain menyelidik kerugian daerah, Fauzi Bowo diharapkan juga bisa segera memberikan kepastian hukum dalam penyeÂlenggaraan reklame. Ada keÂpastian titik reklame, besaran retribusi dan besaran kepenguÂrusan perijinan.
Seluruhnya harus memiliki payung hukum secara pasti turunan dari Perda Nomor 7 tahun 2004. Mengingat aturan pelaksana yang terus digunakan saat ini masih mengacu kepada aturan lama, dan sudah tidak banyak sesuai amanat Perda. Yakni, Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 37 tahun 2000 dan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta nomor 112 tahun 2000.
[RM]
BERITA TERKAIT: