Apalagi, terkuak pembicaraan awal antara Gubernur DKI Anies Bawesdan dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Sofyan Djalil mengenai pembatalan sertifikat Pulau D.
"Semakin hari semakin menarik untuk dikaji dan diawasi dengan ketat, belakangan sebelum surat permohonan pembatalan HGB pulau reklamasi tersebut. Kita terperangah dan terlena seolah-olah drama tersebut luar biasa romantisnya, bahkan nama Presiden Joko Widodo ikut diseret seret dalam persoalan ini," jelas Ketua Umum Fakta H. Anhar Nasution kepada wartawan, Jakarta, Selasa (16/1).
Dia mengimbau agar publik jangan sibuk dan asik dengan persoalan terbitnya HGB saja yang seolah olah hanya merupakan kewenangan Kantor Pertanahan Jakarta Utara. Teramat kecil akhirnya memandang persoalan tersebut.
"Coba kita simak lebih jauh dan mendalami terbitnya HPL ini yang menjadi titik awal dan biang kerok terjadinya kasus yang menghebohkan jagat raya perpolitikan di Tanah air," papar Anhar.
Diketahui bahwa penerbitan HPL seluas 3.120.000 meter persegi (312 hektare) berdasarkan Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 82/HPL/KEM-ATR/BPN/2017 yang didasari antara lain surat persetujuan prinsip reklamasi sebagaimana surat gubernur DKI Jakarta tanggal 19 Juli 2007 Nomor 1571/-1.711.
"Itu artinya SHPL ini diterbitkan dan ditanda tangani Oleh Sofyan Djalil sebagai menteri ATR/BPN yang diangkat bedasarkan Keppres 83/P/2016 pada tanggal 27 juli 2016," kata Anhar.
Lanjutnya, yang menjadi pertanyaan apakah penerbitan HPL sudah memenuhi Peraturan Menteri Dalam Negri 1/1977 junto Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN 9/1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, khususnya pada pasal 67 sampai pasal 75.
"Pasal itu mengharuskan adanya perda yang mengatur RUTR selanjutnya penerbitan SIPPT oleh gubernur DKI. Jika tiga unsur ini saja tidak terpenuhi maka bisa dipastikan SHPL yang diterbitkan Kementerian ATR/BPN yang ditandatangani Sofyan Djalil itu cacat hukum, dengan kata lain SHPL tersebut tidak sah," ungkap Anhar.
Menurut pimpinan Panja Pertanahan Komisi II DPR periode 2004-2009 itu, surat izin prinsip reklamasi dikeluarkan pada 19 Juli 2007 pada saat ibu kota dipimpin Gubernur Fauzi Bowo. Sementara, surat permohonan hak pengelolaan diajukan 22 Desember 2015 oleh Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Provinsi DKI Heru Budi Hartono atas nama pemprov yang saat itu dipimpin Basuki Tjahaja Purnama.
Anhar mengungkapkan, Kementrian ATR/BPN selama dipimpin Sofyan Djalil tidak hanya menerbitkan SHPL tersebut. Diduga juga telah menerbitkan sertifikat hak pengelolaan seluas 1.093.580 meter persegi atau 109 hektare untuk Pulau 1 dan Pulau 2B berdasarkan Keputusan Gubernur DKI tanggal 21 September 2012 Nomor 1417/2012 tentang Pemberian izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau 1 dan Pulau 2B Kepada PT Kapuk Naga Indah.
"Patut dipertanyakan keberadaan dan keabsahan kedua sertifikat hak pengelolaan lahan yang diterbitkan oleh Kementrian ATR/BPN yang ditandatangani oleh Sofyan Djalil," bebernya.
Kemudian juga patut diduga telah terjadi persekongkolan dan permufakatan jahat untuk memperkaya diri dan orang lain dengan menyalahgunakan jabatan dalam kebijakan tersebut.
"Kita jangan tertipu dengan hiruk pikuk dan kegaduhan politik yang ditimbulkan dengan kasus reklamasi ini. Marilah kita dalami kasus pidananya dengan menggunakan kekuasaan dan siapa yang berada di belakang semua ini harus diungkap jelas dan tuntas," tegas Anhar.
[wah]
BERITA TERKAIT: