Demikian disampaikan Ketua Setara Institute, Hendardi melalui keterangan tertulis yang diterima redaksi, Senin (18/12).
Pernyataan Hendardi tersebut menyikapi pemberitaan di berbagai media massa yang menyatakan bahwa Panglima TNI menyetujui kasus pidana oknum militer akan diselesaikan di peradilan umum. Namun Kapuspen TNI Mayjen TNI MS Fadhilah menyatakan kalau pemberitaan itu tidak benar.
"Karena itu konstitusi-konstitusi modern meyakini dan mengadopsi prinsip kesamaan di muka hukum sebagai hak konstitusional warga tanpa terkecuali," kata Hendardi, Senin (18/12).
Atas dasar itu pula, menurut dia, tidak ada alasan konstitusional pembedaan subyek hukum pada warga negara jika ia melakukan tindak pidana umum.
"Semua subyek yang melakukan tindak pidana umum harus tunduk pada peradilan umum. Mempertahankan anggota TNI memperoleh previlege peradilan khusus atas tindak pidana umum, jelas merupakan bentuk pelanggaran konstitusi," ujar Hendardi
Hendardi menegaskan pengakuan TNI sebagai subyek hukum tertentu yang diatur dengan UU khusus hanyalah berlaku terhadap jenis pidana militer, disiplin prajurit, atau pidana lain yang dilaksanakan di tengah operasi militer. Karena jenis tindak pidananya yang spesifik, maka diatur dengan UU khusus.
Hendardi melanjutkan, praktik peradilan koneksitas atau peradilan terpisah yang selama ini dijalankan dalam sistem peradilan di Indonesia adalah bentuk peragaan terbuka pelanggaran hak atas persamaan di muka hukum.
"Bagaimana bisa, sama-sama warga negara dan melakukan tindak pidana yang sama, tapi diadili secara berbeda dengan alasan bahwa subyek yang satu adalah tentara dan subyek lainnya adalah warga sipil," tegas Hendardi.
Mempertahankan pembedaan semacam itu, ujarnya, hanyalah menunjukkan bahwa anggota militer lebih supreme dari warga sipil. Dari sinilah banyak tindak pidana yang dilakukan oleh oknum militer gagal melimpahkan keadilan bagi korban dan seringkali mengalami impunitas.
Dengan sistem semacam ini, imbuh Hendardi, maka aneka jenis pidana termasuk tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh oknum militer menurutnya, tidak akan bisa diadili secara fairness.
Hendari menekankan semua mafhum dan diakui secara universal, bahwa kalau jenis pidana itu adalah pidana militer, termasuk tindakan militer dalam perang, maka secara materiil dan formil harus diadili secara terpisah dan dengan mekanisme yang terpisah pula.
Ditambah lagi, praktik peradilan militer di banyak belahan dunia telah mengalami penyelarasan sejalan dengan sistem demokrasi yang dianut oleh suatu negara dan sejalan dengan pengakuan hak asasi manusia. Mereka yang terus berlindung di balik pembenaran universal untuk mempertahankan supremasi militer dengan tidak tunduk pada peradilan umum saat melakukan tindak pidana umum, hanyalah upaya mempertahankan supremasi militer warisan rezim-rezim militer di masa lalu.
"Upaya ini pula berlindung di balik premis warisan perang dunia dan perang-perang untuk memperoleh kemerdekaan, yakni bahwa militer adalah satu-satunya elemen kunci yang berjasa dalam membangun negeri dan mengelola suatu bangsa," demikian Hendardi.
[san]
BERITA TERKAIT: