Menurut Andi, perilaku seseorang di dunia maya dapat ditelusuri dan jika ditemukan unsur-unsur melanggar hukum maka hukumannya di dunia nyata melalui UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
"Itu cerita awal adanya UU ITE di eropa, dan Indonesia sudah tertinggal satu dekade," ujarnya saat diskusi bertajuk "Bisnis dan Politik Hoax?" di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (26/8).
Walau demikian, Andi menilai UU ITE di Indonesia memiliki kemajuan, terlebih pada 2016 lalu, DPR sudah merevisi UU tersebut. Salah satunya penambahan dari aspek pemidanaan. Namun disisi lain, UU ITE ini juga bisa berkembang seiring jaman. Andi mencontohkan kasus sindikat Sarancen.
Andi menilai kasus ini memiliki keunikan, disatu sisi keberadaan sindikat tersebut lantaran adanya supply and demand. Kasus tersebut juga telah membuka mata bahwa ujaran kebencian atau informasi hoax di media sosial bukan hanya dilakukan oleh induvidu melainkan dilakukan oleh sekelompok orang yang dikomersilkan.
"Ini kasus pertama yang pelaku dengan jumlah bukan satu tetapi berkelompok.
Yang menjadi persoalan kita itu ada supply and demand. Dari aspek demand, bagaimana mungkin ada orang yang mau memesan pekerjaan seperti ini penyebaran konten fitnah konten yang mengadu domba ini," ungkapnya.
Lebih lanjut Andi berharap, kepolisian tidak hanya menjerat anggota sindikat Saracen. Para pemesan konten-konten fitnah dan mengadu domba juga harus diminta pertangung jawabannya.
Menurutnya, para pemesan konten negatif tersebut bukan hanya dijerat secara pidana, hukum sosial juga mesti diberikan. Seperti mengumumkan para pemesan konten kebencian itu.
"Orang-orang itu harus dihukum berat. Mereka sudah tahu ada tangung jawab hukum untuk menyebar kebencian tetapi tetap saja dilakukan. Dan dia harus dipublikasikan untuk memberi gambaran juga kepada kita bahwa ada orang-orang yang punya niat keji untuk memecah belah bangsa. Apalagi dia seorang tokoh," demikian Andi.
[san]