Hal itu sebagaimana diutarakan pengamat hukum dari Universitas Bung Karno, Ibnu Zubair di Jakarta, Sabtu (26/8)
Menurutnya, dengan bersikap adil dalam memimpin suatu perkara persidangan, seorang hakim tentu akan menghasilkan keputusan yang memenuhi unsur keadilan pula.
"Prinsipnya, (hakim) berada di antara semua golongan. Sehingga tidak ada pihak yang merasa hak-haknya dirugikan," tegasnya.
Meski demikian, menurut dia, pada kenyataannya masih saja justru terkesan bertindak "semuanya sendiri". Sebab tak sedikit dari hakim memimpin sidang dengan hanya mengedepankan egonya.
Kata dia, dan banyak hal yang memicu seorang hakim lebih mementingkan egonya. Salah satunya yakni karena perasaan emosional pada sidang sebelumnya atau memiliki masalah di luar peradilan.
Contoh konkrit yakni kasus perkara sebuah SMA Kristen di Dago, Bandung, Jawa Barat yang pada Senin lalu (21/8) diputus oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung.
Diketahui dalam perkara tersebut, pihak SMA Kristen Dago sebagai tergugat meminta surat kuasa penggugat yakni Perkumpulan Lyceum Kristen (PLK) kepada Majelis Hakim. Namun Majelis Hakim PN Bandung tidak mengabulkannya.
Sampai saat ini pun, menurut tergugat, belum ada kejelasan status hukum kuasa penggugat. Nah, belakangan baru muncul dugaan bahwa penandatangan surat kuasa penggugat bukanlah individu yang mempunyai kewenangan.
Menurut Zubair, harusnya, sesuai hukum acara, Majelis Hakim perlu mendengarkan dan mempertimbangkan permintaan salah satu pihak.
"Kalau contoh kasusnya begitu, tergugat punya hak mempertanyakan ke Ketua PN Bandung kenapa surat kuasa tidak ditunjukkan. Hakim juga perlu mempertimbangkan, jangan diabaikan," ujar Zubair.
Zubair pun mengusulkan agar pihak yang merasa dirugikan untuk mengadukan dugaan penyimpangan hakim itu ke Komisi Yudisial (KY).
"Silahkan adukan hakim yang teledor ke KY," pungkasnya.
[sam]
BERITA TERKAIT: