Keberadaan Satgas Pangan terbukti efektif dalam membantu terwujudnya stabilitas harga dan stok, termasuk di waktu-waktu tertentu yang riskan.
"Itu dibuktikan dengan stabilnya harga-harga pas Ramadhan sampai Lebaran kemarin. Lebaran kemarin kan harga sangat stabil, tidak ada gejolak. Padahal sebelumnya selalu bergejolak," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (27/7).
Dukungan juga diberikan karena sebelumnya mafia dan kartel pangan sulit tersentuh aparat hukum lantaran banyak pemain yang menguasai berbagai komoditas. Padahal, pangan merupakan amanat konstitusi dan hak asasi agar bisa bertahan hidup.
"Gula ada pemainnya, kedelai ada pemainnya, beras ada pemainnya, daging ada pemainnya, jagung ada pemainnya, garam ada pemainnya, singkong apalagi. Semua sudah ada pemainnya," ungkap Firman.
Menurutnya, ketika mafia dan kartel belum bisa diamankan maka mereka dengan sesuka hati mempermainkan harga pangan di sektor hulu atau petani hingga hilir alias konsumen. Caranya, memborong semua hasil panen petani dan disimpannya di gudang untuk waktu tertentu hingga stok barang di pasar menipis. Ketika situasi telah terjadi demikian, mereka lalu menjual dengan harga tinggi.
"Iya konsep kartel kan begitu. (Kelangkaan) dibuat mereka, supply demand dikuasai mereka, dan Bulog tidak bisa mengatasi persoalan ini," beber Firman.
Politisi Partai Golkar itu menambahkan, Bulog sebagai instrumen negara untuk mengendalikan harga pangan kerap terhambat dan sulit berkompetisi dengan perusahaan swasta. Lantaran segala kebijakannya dibatasi oleh peraturan perundang-undangan, jika melanggar maka kena semprit aparat hukum.
Sedangkan korporasi lebih fleksibel karena berkuasa penuh atas sumber daya yang dimiliki serta bebas membeli atau menjual barang dengan harga murah hingga mahal.
"Namanya pedagang, sudah pintar hitung-hitungannya. Apalagi kalau dia sudah menguasai bahwa hasil panen dibeli semua, distok semua. Karenanya, adakalanya justru Bulog membeli barang dari swasta dengan harga tinggi," jelas Firman.
Dia menambahkan, bermain di sektor pangan sangat menggiurkan. Sebab, tanpa perlu kerja keras dan hanya main di atas kertas namun mendapatkan untung besar.
"Coba dia kalau membeli gabah kering Rp 4.900 per kilogram tapi dia bisa menjual beras sampai Rp 13.000 per kilogram, bahkan Rp 20 ribu per kilogram beras premium. Yang diuntungkan siapa," tanya Firman.
Dia mengingatkan para pengusaha nakal tidak pernah membantu petani, baik dalam memenuhi kebutuhan bercocok tanam hingga penyediaan sarana prasarana infrastruktur. Justru, semuanya dibiayai negara melalui subsidi dan bantuan.
Tanpa adanya tindakan tegas terhadap para kartel dan mafia tersebut, maka masa depan Indonesia ke depan bakal terpuruk.
"Negara agraris, tapi industri pertanian dikuasai asing, ini berbahaya. Indonesia penduduknya besar, jumlah kebutuhan sangat tinggi. Tetapi ketika tidak bisa membendung kartel, ini bahaya," tegasnya.
[wah]
BERITA TERKAIT: