"Makar" Dengan Hatta, SBP Berencana Ajukan Judicial Review Penahanan Tersangka

Disuruh Tutup Mulut Tidak Ganggu Rezim

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Jumat, 24 Maret 2017, 08:52 WIB
"Makar" Dengan Hatta, SBP Berencana Ajukan <i>Judicial Review</i> Penahanan Tersangka
Foto/Net
rmol news logo Tepat tujuh hari lepas dari rumah tahanan Polda Metro Jaya (PMJ), Sri Bintang Pamungkas (SBP) nekat "makar" dengan sejumlah koleganya, termasuk Hatta Taliwang.

Makar alias makan ramai-ramai itu digelar sebagai syukuran kembalinya SBP ke Rumah Kedaulatan Rakyat Guntur 49, Manggarai, Jakarta Selatan, Kamis (23/3).

"Ini baru makar namanya. Makan ramai-ramai," celetuk aktivis senior Hatta Taliwang di acara tersebut.

SBP sendiri menganalogikan, kasus dugaan pemufakatan makar yang menjeratnya, ibarat perkara pembunuhan yang janggal. Orang yang terbunuh tidak ada, alat untuk membunuh pun nihil, tapi ada tersangkanya.

"Inilah republik kita. Hukum bagus tapi, hamba hukumnya tidak melaksanakan aturan hukum yang sesungguhnya. Itu artinya, memperkosa hukum untuk kepentingan mereka dan kekuasaan. Ini yang harus kita lawan," sesal pria yang memiliki ayah seorang hakim di era kemerdekaan itu.

Lebih rinci ke kasus hukum yang menjeratnya, SBP menceritakan proses penangguhan penahanan yang dikabulkan PMJ, 15 Maret lalu. Awalnya, Assegaf selaku kuasa hukum, dipanggil penyidik untuk membahas proses penangguhan penahanan, dua hari sebelumnya, Senin, 13 Maret.

Kepada Assegaf, penyidik memberikan tiga syarat yang mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) agar dipenuhi SBP. Yaitu, tidak akan melarikan diri, tidak merusak atau menghilangkan barang bukti, dan tidak akan mengulangi tindak pidana.

"Assegaf jamin klien (SBP) nggak bakal lari. Kalau mengulang perbuatan, perbuatan yang mana? Saya tanya perbuatan apa yang mau diulang, mereka (polisi) nggak bisa jawab. Tidak bisa membuktikan. Menghilangkan barang bukti, apa yang mau dihilangkan? Rumah sudah digeledah semua. Nggak ada bukti, perkaranya nggak ada," papar SBP.

Begitu juga saat bebas, SBP diwajibkan laporan ke PMJ. Namun, SBP menegaskan juga hal itu tidak pernah dan tidak akan dilakukannya. Menurutnya, dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), disebutkan tentang masa tahanan tersangka. Khususnya masa tahanan selama 110 hari. Rinciannya, masa penyidik selama 20+40 hari (perpanjangan), dan masa tahanan penuntut umum selama 20+30 hari.

Jika dalam masa tersebut proses penyidikan belum rampung, lanjut SBP, maka tersangka dinyatakan bebas demi hukum. Apalagi, selama ini berkas perkara SBP dan tujuh tersangka pemufakatan makar lainnya, hanya bolak balik dari PMJ ke Kejaksaan Tinggi DKI. Artinya, tidak sanggup merampungkan berkas perkara, dan wajib mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) untuk tersangka.

"Aku nggak pernah dengar disuruh (wajib) lapor. Dan aku nggak mau melapor. Kalau sudah 110 hari (60+50 hari), bebas (demi hukum). Polisi harus mengeluarkan SP3," tegas peraih gelar doktor di Iowa State University itu.

Proses penahanan, kata SBP, merupakan satu bentuk rampasan kemerdekaan bergerak seseorang. Sekaligus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hal tersebut telah telah dipikirkan sejak 70 tahun silam saat pembahasan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS)1950.

Dalam UUDS ini, justru telah dimasukkan beberapa pasal mengenai masalah HAM. Ia pun menyebut hal ini sebagai ironi karena saat ini negara justru abai terhadap HAM rakyatnya sendiri.

"Artinya, sejak dulu kita sudah memperhatikan HAM. Nah ini sudah 71 tahun merdeka kok malah tidak memperhatikan HAM," terang eks politisi PPP kelahiran Tulungagung, Jawa Timur itu.

Baginya, penahanan selama 103 hari sejak Desember 2016 hingga Maret lalu telah melanggar hak asasinya sebagai warga negara. SBP harus terpisah dari keluarganya, bahkan terpaksa membuat soal ujian untuk mahasiswanya dari balik jeruji besi. Terlebih, pihak penyidik tidak menemukan bukti-bukti yang mendukung tuduhan tersebut.

"Kita disuruh tutup mulut agar tidak mengganggu rezim. Kita dibikin takut karena rezim takut dengan perjuangan kita," sindir dosen fakultas teknik Universitas Indonesia tersebut.

Untuk itu, SBP berencana mengajukan judicial review atau uji materi terkait masa tahanan yang terlalu lama. Jika ditotalkan, seorang tahanan berpotensi menghuni jeruji besi selama 400 hari, sebelum mendapatkan keputusan berkekuatan hukum tetap (inkrah). Mulai dari tahanan penyidik Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, hingga Mahkamah Konstitusi (MK).

Pihaknya akan mengajukan judicial review agar masa penahanan tidak boleh lebih dari 10 hari. Langkah konkret saat ini, SBP telah berkoordinasi dengan sejumlah pengacara agar dapat merealisasikan hal tersebut.

"Kita mau bicara dengan beberapa lawyer (pengacara). Lalu menyusun permohononan. Seperti apa nantinya. Sebab, dalam KUHP itu pasalnya cukup banyak. Sejak penyidikan polisi sampai MK, masa penahanan harus dilakukan selama 10 hari. Bisa itu," demikian SBP. [rus]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA