Ironisnya, orang-orang yang disebut dalam dakwaan sidang mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Irman, dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Sugiharto, pada Kamis lalu (9/3), sebagian dari mereka adalah memegang posisi kunci di lembaga-lembaga pemerintahan saat ini.
"Kasus korupsi e-KTP akan dicatat dalam sejarah sebagai kasus korupsi terbesar yang terjadi di era SBY. Dan para pelaku sebagian besar pemegang posisi kunci di lembaga pemerintahan," kata Ketua Setara Institute, Hendardi, Selasa (14/3).
Pada sisi lain, menurut pendiri Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) ini, akibat pengungkapan kasus tersebut, KPK justru menghadapi persoalan serius. Lembaga antirasuah itu, dia menambahkan penghadapi pelemahan serius dari DPR melalui rencana revisi siluman UU KPK dan pengguliran hak angket
Oleh karena itu menghadapi persoalan ini, pihaknya berharap agar Presiden Joko Widodo yang secara terbuka mengkritik proyek ini, tidak cukup hanya menjadi penonton pasif, tetapi harus memastikan dukungan terbuka pengungkapan praktik korupsi ini dengan cara menghentikan rencana revisi UU KPK tersebut.
"Presiden memiliki kewenangan 50 persen membentuk UU dan segera mendorong partai-partai pendukung pemerintah untuk menolak revisi UU KPK dan pengguliran hak angket," tegasnya.
Sebab menurut Hendardi lagi, pengungkapan kasus ini bukan hanya pertaruhan keberpihakan Presiden pada pemberantasan korupsi, tetapi juga pertaruhan tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan dan akuntabel.
Di sisi lain, tegasnya, gagalnya pengungkapan secara tuntas kasus e-KTP akan meruntuhkan martabat DPR dan Presiden di masa kini dan mendatang. Ketidakpercayaan rakyat pada penyelenggara negara akan semakin menguat dan sulit dipulihkan. Karena itu semua pihak harus memberikan dukungan pada pengungkapan kasus tersebut.
Kepada KPK, Setara Institute berharap agar secara paralel perlu mempercepat penanganan kasus dengan cara memeriksa dan menetapkan tersangka orang-orang yang disebut dalam dakwaan, sehingga penyebutan nama-nama tersebut segera memperoleh klarifikasi.
Hendardi mengingatkan KPK untuk tidak lagi memberi ruang kepada mereka yang nyata-nyata menikmati uang hasil korupsi melakukan klarifikasi dan konsolidasi untuk menyerang balik KPK sambil menolak keterlibatannya.
"KPK tidak perlu menunggu proses-proses persidangan untuk menetapkan tersangka baru, karena berlama-lama dalam menetapkan tersangka justru diduga berpolitik. Basis penetapan tersangka adalah bukti-bukti permulaan dari hasil pemeriksaan, jadi tidak relevan kalau KPK justru menanti terlalu lama proses persidangan," demikian Hendardi.
[rus]
BERITA TERKAIT: