Suap itu terkait program aspirasi anggota Komisi V DPR untuk proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemenpupera).
Jaksa KPK, Mochamad Wiraksajaya, mengatakan, uang Rp 7,4 miliar tersebut patut diduga diberikan agar Andi menyalurkan program aspirasinya dalam bentuk proyek pembangunan infrastruktur jalan di wilayah Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara.
Andi disebutkan menerima suap secara bertahap dari dua pengusaha di Maluku dan Maluku Utara. Pertama, Andi menerima Rp 3,9 miliar dan 257.661 dolar Singapura, atau Rp 2,5 miliar dari Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama, Abdul Khoir.
Kemudian, Andi menerima 101.807 dolar Singapura, atau senilai Rp 1 miliar dari Direktur Utama PT Martha Teknik Tunggal, Hengky Poliesar.
"Uang juga diberikan untuk mengarahkan agar Abdul Khoir dan Hengky menjadi pelaksana proyek di Maluku dan Maluku Utara," ujar Jaksa.
Nama Andi didapatkan dari pengembangan kasus yang sebelumnya menjerat Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PDIP, Damayanti Wisnu Putranti, dan Abdul Khoir.
Andi pernah mengikuti rapat informal yang dihadiri pimpinan Komisi V DPR, beberapa ketua kelompok fraksi, dan Sekretaris Jenderal Kemenpupera, Taufik Widjoyono, sebelum Komisi V DPR melakukan rapat kerja dengan Kemenpupera.
Pada Oktober 2015, Andi memanggil Kepala BPJN IX Maluku dan Maluku Utara, Amran HI Mustary, dan "tangan kanan" Amran, Imran S Djumadil, ke ruang kerjanya di Gedung DPR RI. Dalam pertemuan tersebut, Andi menjelaskan bahwa ia memiliki jatah proyek senilai Rp 170 miliar, dan bersedia menempatkan jatah aspirasinya di Maluku dan Maluku Utara.
Andi meminta agar Amran mencari calon kontraktor yang dapat mengerjakan proyek yang ia usulkan. Tetapi, ia meminta agar para kontraktor tersebut bersedia memberikan fee kepadanya.
Atas perbuatannya, Andi didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU 31/1999 sebagaimana diubah dalam UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
[ald]
BERITA TERKAIT: