Kapolri Diingatkan Indonesia Anut Pluralisme Hukum

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Kamis, 19 Januari 2017, 18:16 WIB
rmol news logo Kapolri Jenderal Tito Karnavian diingatkan bahwa sistem hukum Indonesia menganut plurarisme. Yang berarti selain mengadosi hukum barat juga mengambil hukum Eropa Kontinental dan  juga hukum-hukum lain seperti hukum adat dan hukum agama.

"Kita menganut plurarisme hukum. Jadi selain ada hukum positif seperti undang-undang yang berlaku seperti di Eropa Kontinental seperti adanya pidana, perdata dan tata negara tapi kita tidak juga tidak menanggalkan hukum adat ataupun hukum agama," jelas anggota Komisi III DPR RI Raden Mohammad Syafii di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (19/1).

Dia mencontohkan, hukum-hukum adat ataupun agama yang masih berlaku dan diakui sebagai hukum seperti hukum perkawinan, hukum waris, hukum wakaf, dan lainnya.

Menurut Raden, banyak juga di antara hukum yang ada dalam agama itu seperti UU Zakat, UU Waris, UU Haji dan sebagainya diadopsi dari hukum yang bersumber dari agama. Dirujuk dari berbagai aturan agama yang ada mulai dari Al Quran, hadis, dan fatwa para ulama.

"Undang-undang itu ada yang spesifik diadopsi dari hukum agama seperti UU Waris, UU Zakat dan UU Haji. Itu kita adopsi dari berbagai sumber hukum termasuk fatwa para ulama. Jadi jangan bingung menerapkan aturan karena bukan hanya hukum positif yang tertulis yang berlaku di Indonesia. Lihat saja di Bali, Aceh dan daerah-daerah lain yang menerapkan hukum adat atau agama," jelasnya.

Raden pun memberikan contoh lain seperti UU Konsumen yang juga di salah satu pasalnya mengatur soal kehalalan satu produk.

"Nah halal atau tidaknya satu produk juga perlu untuk melidungi rakyat yang beragama Islam dari mengkonsumsi makanan yang tidak halal. Ini pun diambil sekali lagi dari hukum Islam baik Al Quran, Hadis maupun fatwa para ulama," tambahnya.

Selain itu, menurutnya, dalam penerapan hukum di Indonesia juga dilakukan pendekatan berdasarkan norma atau kaidah yang terdiri dari norma hukum, norma agama, norma kesusilaan atau kesopanan dan norma kebiasaan.

"Kesimpulannya, Indonesia itu berlaku hukum yang hidup di tengah masyarakat atau living law. Jadi tidak bisa dinafikan ada hukum agama yang berasal dari agama masing-masing," beber Raden.

Oleh karena itu, dia pun merasa aneh jika kemudian seorang kapolri mempertanyakan hal itu. Karena hukum bukan yang ada di undang-undang saja. Law in book dan law in action atau hukum tertulis dan hukum pada praktiknya itu berbeda, dan tidak boleh seorang penegak hukum hanya menjalankan hukum tertulis tanpa mempertimbangkan hukum-hukum lainnya.

"Banyak praktik hukum yang tidak tertulis di buku. Bahkan hakim di pengadilan bisa mengurangi atau menambah hukuman bagi seorang terdakwa hanya karena perilakunya yang sopan atau tidak sopan. Itu juga tidak tertulis dalam hukum positif, dan itu bukan bahasa undang-undang," tandas Raden. [wah]  

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA