Selain itu ahli pidana ini juga menjelaskan bahwa jika delik yang sudah ada ancaman pidana, maka tidak bisa di
-juncto-kan dengan delik lain yang sama-sama memiliki ancaman hukuman.
Dosen Fakultas Hukum UII ini juga berpendapat tentang pasal 12 huruf b terkait hubungan dengan tindakan yang dilakukan penyelenggara negara. Pasal ini harus berkenaan kepada pejabat yang bersangkutan. Dalam artian bahwa semestinya prinsip dalam penerapan hukum harus memakai pasal yang paling ringan untuk terdakwa.
Kemudian pasal 11 ditujukan kepada penyelenggara negara yang menerima hadiah, mirip dengan pasal 13 yang ditujukan pada pemberi hadiah ke penyelenggara negara.
Sesuai pengamatan ahli, delik suap terbagi menjadi tiga kategori, pertama harus ada pegawai negeri sipil (PNS) atau penyelenggara negara yang memiliki jabatan, kedua harus ada orang yang memberi dan menjanjikan sesuatu, dan ketiga harus ada kesepakatan maupun transaksi.
Dr Mudzakkir juga menerangkan tentang suap yang dibedakan menjadi dua, yakni aktif dan pasif. Atas dasar itu lahirlah UU 20/2001 tentang gratifikasi, yaitu pasal 12 a dan b.
"Bedanya gratifikasi dengan suap adalah tidak ada kesepakatan atau janji di antara pemberi dan penerima, jadi apabila jaksa mendakwakan suap kepada terdakwa, sementara tidak adanya ijab kabul, maka itu bukan suap," urai Dr. Mudzakir dalam kesaksiannya di persidangan.
Sejalan dengan tim kuasa hukum Irman Gusman menekankan yang sangat menentukan itu adalah ijab kabul atau kesepakatan.
"Apakah ada kesepakatan antara pemberi dengan penerima dan itu menjadi patokan. Dalam persidangan sebelumnya baik dari Bu Memi dan Pak Tanto sudah jelas, mereka itu hanya terbesit dalam pikiran mereka memberi oleh-oleh kepada Pak Irman. Jadi unsur kesepakatan atau ijab kabul itu jelas tidak terpenuhi," ujar Tomi Sing usai persidangan.
[wid]
BERITA TERKAIT: