Lima Poin Krusial Pemberantasan Korupsi yang Perlu Diubah Versi Kejagung

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Sabtu, 14 Januari 2017, 18:44 WIB
Lima Poin Krusial Pemberantasan Korupsi yang Perlu Diubah Versi Kejagung
Ilustrasi/Net
RMOL. Jaksa Agung Muda Intelijen pada Kejaksaan Agung RI Dr M Adi Toegarisman, SH., MH setuju bahwa pemberantasan tindak pidana di Indonesia belum efektif dan belum efisien.
 
Karena itu, mantan Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat ini juga menawarkan perlunya pemberantasan korupsi dengan paradigma efisiensi.
 
Menurut Adi Toegarisman, sepanjang 28 tahun perjalanan karirnya sebagai jaksa, berbagai pengalaman dialaminya di dalam negeri dan di luar negeri mengenai pemberantasan korupsi.
 
Dikatakan mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Riau Kepulauan itu, paling tidak ada lima poin krusial yang harus dilakukan untuk membuat sistem pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi efisien.
 
Pertama, pendekatan menggunakan cost and benefit analysis, itu masih jarang digunakan dalam literatur-literatur hukum di Indonesia.
 
Kemudian, yang kedua, metode economic analysis of law dengan Pareto analysis adalah teori hukum yang belum begitu dipahami oleh masyarakat hukum di Indonesia.
 
"Ketiga, kemanfaatan pendekatan teori nilai waktu dari uang atau time value of money, materi dalam ilmu manajemen keuangan, sebagai materi aplikatif dalam menganalisis kasus-kasus korupsi, perlu diterapkan,” tutur Adi Toegarisman di Jakarta, Sabtu (14/1).
 
Lebih lanjut, diuraikan mantan Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Republik Indonesia ini, regulasi sebagai poin yang ketiga, belumlah cukup ampuh. Sebab regulasi yang saat ini masih diterapkan di Indonesia dalam pemberantasan korupsi masih sekedar mengukur adanya kerugian negara saja.
 
Menurut Adi, pendekatan dengan menggunakan substansi regulasi dari Konvensi PBB Anti Korupsi (UNCAC) Tahun 2003 perlu dilakukan di Indonesia guna mengubah paradigma Undang Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang ada.
 
"Selama ini, paradigma di Undang Undang Tipikor kita masih terbatas pada pendefenisian korupsi sebagai unsur kerugian keuangan negara. Mestinya paradigma itu menjadi korupsi adalah kerugian kekayaan negara,” ujar mantan Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejaksaan Agung ini.
 
Poin terakhir, kata dia, dibandingkan dengan beberapa negara yang cukup efektif dan efisien melakukan pemberantasan korupsi, Indonesia pun bisa mengadobsi sistem yang begitu.
 
Diungkapkan mantan Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta ini, dari beberapa studi banding yang pernah diikutinya ke negara lain, Indonesia semestinya bisa belajar dari keberhasilan Kerajaan Thailand dan Republik Rakyat Tiongkok dalam membangun sistem pemberantasan korupsi yang efisien.
 
Dia berharap, para pemangku kepentingan di Indonesia, bisa melihat dan mengubah regulasi dan paradigma pemberantasan korupsi di Indonesia agar lebih baik.
 
Menurut pengakuannya, semua pemikiran itu telah dituangkan Adi Toegarisman dalam disertasinya ketika meraih gelar Doktor di Universitas Padjajaran, Bandung pada 2013 lalu. Bahkan, gagasan itu telah diterbitkan dalam buku berjudul Pemberantasan Korupsi Dalam Paradigma Efisiensi tahun 2016 kemarin.
 
"Dengan masih maraknya kasus-kasus korupsi di Indonesia, saya optimis bahwa pemikiran ini bisa berkonstribusi terhadap upaya-upaya pemerintah dan lembaga penegak hukum dalam pemberantasan korupsi,” pungkas Adi M Toegarisman. [sam]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA