Kuasa Hukum Geo Dipa Energi Bawa Bukti Indikasi Permainan Putusan MA Ke KPK

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Kamis, 22 Desember 2016, 18:54 WIB
rmol news logo Tim kuasa hukum PT Geo Dipa Energi melaporkan adanya indikasi permainan dalam putusan Mahkamah Agung dalam penanganan hukum sengketa proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTB) Dieng-Patuha antara PT Geo Gipa dengan PT Bumigas Energi. Akibat permainan hukum ini, PLTPB Dieng-Patuha terancam dikuasai PT Bumigas Energi.

Kuasa Hukum Geo Dipa, Lia Alizia menjelaskan pihaknya telah membawa bukti-bukti indikasi permainan dalam penetapan pihak swasta untuk mengelola PLTPB itu.

Lia berharap Agus Rahardjo cs, dapat mencegah terjadinya kerugian negara yang sangat besar akibat masalah terkait PLTPB ini.

"Kami bawa bukti-buktinya. Semoga ini semua terbongkar dengan terang dan para oknum yang diduga telah sengaja ingin merugikan uang negara bisa diberantas," ujarnya saat ditemui di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis (22/12).

Di kesempatan yang sama, Heru Mardijarto selaku kuasa hukum Geo Dipa memaparkan kasus ini bermula pada tahun 2005 saat Geo Dipa dan PT Bumigas Energi bekerja sama. Menurut Heru, kewajiban PT Bumigas Energi membuat lima unit PLTPB, yaitu PLTPB Dieng 2, Dieng 3, Patuha 1, 2 dan Patuha 3. ‎

Dalam kontraknya, disebutkan juga PT Bumigas Energi yang menanggung seluruh pembiayaannya, kemudian menyerahkan pembangkit yang sudah selesai dan siap beroperasi secara komersial kepada Geo Dipa, dan mengoperasikan bersama melalui perusahaan operating and maintenance (O&M) patungan Bumigas dan Geo Dipa.

Namun pada pelaksanaannya yang berlaku efektif pada 1 Februari 2005 sampai dengan Desember 2005, Bumigas belum juga melaksanakan kegiatan fisik pembangunan proyek. Geo Dipa lantas memberi surat peringatan kepada PT Bumigas Energi, namun tak dihiraukan, bahkan sampai surat peringatan ke-5 di bulan Juni 2006.

"Geo Dipa masih sabar, diberi kesempatan lagi selama enam bulan sampai Desember 2005, Bumigas tetap tidak mau melaksanakan pekerjaan berdasarkan kontrak," kata ujar Heru.

Lia menambahkan, pada 7 Mei 2007, Geo Dipa mengirim notice of default kepada Bumigas. Isinya antara lain, bila Bumigas tidak memenuhi kewajibannya dalam 30 hari, maka Geo Dipa mengajukan penyelesaian kontrak melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

"Tanggal 26 November 2007 Geo Dipa resmi mengajukan permohonan terminasi kontrak melalui Arbitrase BANI, karena Bumigas ciderai janji," kata Lia.

Kemudian, lanjut Lia, pada 17 Juli 2008, Arbitrase melalui putusan No 27/XI/ARB-BANI/2007, menyatakan Bumigas melakukan cidera janji dan menyatakan kontrak diterminasi di hari itu juga.

"Atas putusan BANI itu, Bumigas kemudian mengajukan permohonan pembatalan kepada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) pada 19 Desember 2008. Padahal sudah melewati tenggat waktu mengajukan permohonan itu, tetapi tetap diperiksa," ujarnya.

Lebih lanjut, Lia mengatakan, PN Jaksel melalui putusannya 15 Januari 2009 menyatakan permohonan Bumigas tidak dapat diterima dengan alasan kurang pihak, karena tak melibatkan Geo Dipa. Begitu juga pada tingkat Kasasi, Mahkamah Agung RI juga menolak dan menguatkan putusan PN Jaksel.

Tak puas dengan putusan tersebut, Bumigas masih ajukan upaya Peninjauan Kembali ke MA. Tapi, lagi-lagi Bumigas kalah, karena MA melalui putusannya tanggal 25 Mei 2010 menyatakan ‎bahwa permohonan PK Bumigas ditolak.

Heru kembali menambahkan, setelah putusan PK No.16PK/Pdt.Sus/2010 tersebut, sesuai arahan Wakil presiden pada rapat kerja di lokasi Patuha ‎beserta Menteri dan Direksi Pertamina, PLN, BNI, BRI, Mandiri dan Muspida Jabar, PLTPB Dieng 2,3 dan PLTPB Patuha 1,2, dan 3, masuk program pemerintah untuk percepatan‎ pembangunan pembangkit listrik 10.000 tahap 2.

Geo Dipa dengan pendanaan dari BNI akhirnya menunjuk Kontraktor EPC Konsorsium Marubeni-Maklamat Cakera Canggi melalui tender untuk pembangunan PLTP Patuha 1.

"Nah, Proyek PLTP Patuha 1 dapat diselesaikan dan mulai beroperasi komersial pada tanggal 22 September 2014. Berdasarkan hal itu, Geo Dipa adalah pemilik sah PLTPB Patuha 1 dan ‎merupakan aset negara. Lalu dikuatkan lagi Pendapat Hukum dari JAMDATUN Kejaksaan Agung RI bulan Agustus 2014. Terlebih melalui Keputusan Menteri ESDM No. 7100K/93/MEM/2016 tanggal 20 September 2016 menegaskan PLTPB Patuha 1 menjadi objek vital dan aset negara," ujar Heru.

Melihat kemajuan itu, Bumigas justru tahun 2012 kembali mengajukan upaya hukum pembatalan putusan BANI.

Menurut Lia, seharusnya upaya hukum ini tidak terjadi jika pada permohonan Bumigas pertama yakni 19 September 2008, majelis hakim PN Jaksel menolak memeriksa, karena permohonan sudah lewat tenggat waktu pengajuannya.

Meski demikian, putusan PN Jaksel lagi-lagi menyatakan permohonan Bumigas ‎tidak dapat diterima alias NO. Barulah ketika perkara itu dibawa ke tingkat kasasi pada 24 Oktober 2014, MA menyatakan permohonan Bumigas untuk membatalkan putusan BANI dikabulkan.

Merespon itu, Lia menuturkan, Geo Dipa mengajukan PK dua kali, tetapi tetap ditolak majelis hakim. Padahal, Geo Dipa sudah membawa bukti Bumigas telah terlambat pada saat pengajuan permohonan pembatalan putusan BANI ketika itu di PN Jaksel. Tapi sayangnya hal tersebut tidak dipertimbangkan Hakim.

"Disanalah kami curiga, ada dugaan permainan ditingkat penegak hukum. Karena itu selain ke KPK, kami juga akan melaporkan ke Komisi Yudisial," ujar Lia.

"Sangat ironi saya pikir, padahal PLTPB ini merupakan aset negara," pungkasnya.

Seperti diketahui, ketika kasus ini berjalan, Nurhadi masih menjabat Sekretaris Jenderal (Sekjen) MA. Belakangan, penyidik KPK menangkap Panitera Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution dan pengusaha Doddy Aryono Supeno terkait suap pengurusan PK perdata.‎ [zul]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA