Belum lagi minimnya bantuan dari pemerintah, yang berpotensi membuat kader partai terjebak dalam prilaku transaksional.
"Ini semua banyak dipengaruhi karakter integritas orang per orang sebenarnya, namun keadaan menjadi lebih
kompleks karena mesin partai tidak berjalan lancar bila resources-nya minim," ujar Saut kepada wartawan melalui pesan elektronik, Selasa (29/11).
Menurut Saut untuk mengurangi perilaku transaksional yang dilakukan kader partai, KPK merekomendasikan agar dana partai politik (parpol) dibiayai setengah oleh pemerintah.
"Itu sebabnya KPK sarankan agar pemerintah bantu mesin partai bergerak dengan asumsi mereka akan membatasi diri dari prilaku transaksional. Konstituen atau masyarakat akan melihat partainya sebagai sebuah institusional yang membanggakan," ujarnya.
Di kesempatan yang berbeda, mantan penasihat KPK, Abdulah Hehamahua berpendapat saran KPK itu justru kekeliruan. Terlebih 50 biaya mesin parpol yang harus ditanggung negara. Jumlah ini meningkat drastis, yakni dari subsidi 0,01 persen dari pemerintah untuk parpol menjadi 50 persen yang dimasukkan ke APBN.
Abdullah menerangkan, banyak variabel yang membuat tingginya biaya politik di Indonesia. ‎Di antaranya UU Pilpres, UU Pemilu, UU Pilkada dan UU Kepartaian.
"Ini yang disebut sebagai korupsi politik. Memberi subsidi ke parpol, tak otomatis menghilangkan percaloan anggaran di DPR tanpa amandemen semua UU di atas. ‎Persoalan yang tidak kalah penting adalah kualitas SDM parpol dan sistem pengelolaan parpol yang sangat buruk turut menyuburkan percaloan anggaran di DPR," ujar ‎Abdullah melalui pesan singkat.
Abdullah mengingatkan, peningkatan dana parpol bisa menjadi bumerang bagi KPK sendiri. Sebab, berpotensi digunakan ketua umum parpol untuk kepentingan pribadi dan mengurangi kerja mesin partai. Belum lagi kemungkinan tumbuh suburnya partai baru yang hanya mengharapkan dana tersebut cair ke pengurus-pengurusnya.
[wid]
BERITA TERKAIT: