Saat ini, terpidana kasus tindak pidana pembalakan liar, migas, dan pencucian uang itu tengah mencari keadilan.
"Labora Sitorus masih terus mencari keadilan yang sebenarnya dan kebenaran yang seadil-adilnya. Dengan mengajukan PK (peninjauan kembali) ke Mahkamah Agung," kata Hulman Panjaitan selaku kuasa hukum Labora Sitorus kepada wartawan di Jakarta, Jumat (21/10).
Dia mengatakan, langkah itu terkait dengan persoalan penyelesaian perkara dugaan terjadinya tindak pidana yang akhirnya menempatkan Labora Sitorus sebagai tersangka dalam tiga kasus tersebut. Proses hukum yang akhirnya menjadikan Labora sebagai terpidana dinilai penuh dengan rekayasa, tidak independen, tidak fair dan melanggar asas praduga tak bersalah serta melanggar hak asasi.
Ironisnya, semua itu dialami Labora mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan hingga eksekusi putusan.
Hulman membeberkan beberapa poin penting yang menonjol dalam kasus Labora Sitorus, antara lain jaksa penuntut umum (JPU) dalam dakwaannya telah melakukan kesalahan fatal dalam menentukan identitas Labora yaitu dalam uraian identitas dijelaskan lahir di Medan dengan pekerjaan pegawai negeri Pemda Kabupaten Sorong. Sedangkan alamatnya di Jalan Basuki Rahmat KM 12, Kota Sorong.
Padahal seharusnya uraian identitas Labora yang benar adalah tempat lahir di Banjarmasin, pekerjaan anggota kepolisian dan alamat Jalan Diponegoro Nomor 59, Kelurahan Rufei, Distrik Sorong Barat, Kota Sorong.
Hulman juga menjelaskan dalam Tindak Pidana Kehutanan sesuai Laporan Polisi No 65/1/Ill/2013/SPKT/Papua, tanggal 28 Maret 2013 atas nama Labora hanya terdapat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) atas nama Labora sebagai saksi. Sedangkan BAP sebagai tersangka tidak pernah ada.
Begitu juga untuk tindak pidana migas dan tindak pidana TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) tidak pernah ada BAP atas nama Labora baik sebagai saksi maupun tersangka. Namun justru ditemukan BAP sebagai tersangka atas nama Labora pada dugaan TPPU yaitu Laporan Polisi Nomor 108/V/2013/SPKT/Papua.
Lebih parah lagi, dalam kaitan kasus dugaan tindak pidana korporasi yang disangkakan kepada Labora fakta hukum menunjukkan dari awal penyidikan tidak ditemukan bukti bahwa Labora tercantum sebagai pengurus dalam akte pendirian perusahan-perusahaan yang disangkakan, yaitu sesuai akte Nomor 20/2010 tanggal 21 Oktober 2010 susunan pengurus Rotua yakni Direktur Utama Lulu Ilvani, Direktur Lisna Panauhe dan Komisaris Sandritje Panauhe.
Begitu juga di PT Seno Adi Widjaya, sesuai akte Nomor 24/2010 tanggal 27 Agustus 2010 susunan pengurus perusahaan itu Direktur Utama Jimmy Legesang, Direktur Robinhood Sitorus, Komisaris Utama Sandritje Panauhe dan Komisaris Lisna Panauhe.
"Fakta persidangan sebagaimana diakui majelis hakim PN Sorong yang memeriksa dan memutus perkara tersebut pada tingkat pertama, terbukti bahwa Labora bukanlah pengurus atau personil pengendali dalam perusahaan perusahaan tersebut," ujar Hulman.
Selain itu, terjadi pemaksaan Labora untuk masuk dalam tahanan, sementara masa penahanan menurut undang-undang sudah berakhir. Pemaksaan masuk dalam tahanan dilakukan dengan cara membuat Berita Acara Perpanjangan Penahanan yang diduga direkayasa dan karenanya merupakan penyalahgunaan kewenangan.
"Masih banyak kejanggalan lain yang terjadi dalam kasus yang menimpa klien kami. Dan kami sudah mengajukan surat audiensi sekaligus memohon perlindungan hukum ke Komisi III DPR dan menyerahkan lampir rekomendasi dari executive summary hasil eksaminasi putusan Labora Sitorus yang dikeluarkan Komnas HAM," demikian Hulman.
[wah]
BERITA TERKAIT: