Emi, Direktur PT Billy Indonesia, Widdi Aswindi; serta Pegawai PT Billy Indonesia, Edy Janto; diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam.
Edy merupakan saksi pertama yang lebih dulu keluar dari gedung KPK. Dirinya memilih bungkam saat dikonfirmasi oleh awak media terkait pemeriksaannya. Bahkan Edy langsung mempercepat langkahnya saat awak media menghujaninya dengan pertanyaan.
"Tidak ada Pak, sorry, sorry. Saya bukan orang penting pak," ujar Edy seraya meningalkan kerumunan awak media di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis (1/9).
Setelah Edy, giliran Widdi yang selesai digarap oleh penyidik KPK. Berbeda dengan Edy, Widdi memilih irit bicara saat dimintai keterangan terkait pemeriksaannya.
Dirinya mengaku pertanyaan penyidik hanya seputar perusahaan tempat dirinya bekerja.
"Iya PT Billy. Makasih," cetus Widdi.
Berselang dua jam, giliran Emi yang keluar dari gedung lembaga antirasuah. Saat melihat kerumunan awak media, Emi langsung mempercepat langkahnya.
Awak media yang menunggunya tak tinggal diam dan langsung mengejarnya untuk meminta keterangan perihal pemeriksaan.
Namun, Emi memilih irit bicara soal pemeriksaan, dirinya hanya mengaku ditanya seputar PT AHB. Saat disinggung soal Nur Alam, Emi hanya menggelengkan kepalanya.
"Belum, belum (ditanya soal Nur Alam)," cetus Emi sembari menutup pintu taksi yang menjemputnya di depan Gedung KPK.
Dalam kasus kasus dugaan korupsi penerbitan SK IUP untuk PT AHB, Emi dan Widdi merupakan pihak yang dicegah bepergian ke luar negeri.
Kuat dugaan, pencegahan terhadap Emi dan Widdi lantaran keduanya mengetahui dan ikut terlibat dalam kasus yang menyeret Nur Alam. Pasalnya, PT Billy Indonesia dan PT AHB merupakan dua perusahaan yang saling berafiliasi.
PT Billy Indonesia memiliki rekan bisnis Richcorp International yang diketahui bergerak di tambang. Perusahaan yang berbasis di Hongkong tersebut membeli nikel dari PT Billy Indonesia.
Berdasarkan Laporan Hasil Analisis (LHA) yang dikeluarkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), perusahaan tersebut pernah mengirim uang 4,5 juta Dolar ke Nur Alam. Nur Alam sendiri masuk radar salah satu dari 10 kepala daerah yang memiliki rekening gendut.
[zul]
BERITA TERKAIT: