Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada, Fariz Fachryan tak mendukung rencana kementerian yang dipimpin Yasonna Laoly itu. Menurut dia, korupsi adalah kejahatan
extra-ordinary. Tak mudah membongkarnya. Perlu ada orang
justice collaborator (pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum) untuk mengungkapnya.
Makanya kepada
justice collaborator dijanjikan akan mendapat keringanan tuntutan hukum dan pengurangan masa hukuman (remisi).
Rencana Kementerian Hukum dan HAM memperingan syarat mendapat remisi, mengÂhilangkan hak istimewa napi yang telah menyandang status
justice collaborator. Jika rencanaitu direalisasikan, status napi
justice collaborator tak ada beÂdanya yang napi kasus korupsi yang tidak bekerja sama dengan penegak hukum, bahkan yang mempersulit penyidikan.
Fariz mengkhawatirkan, jika rencana itu direalisasikan, tersangka atau terdakwa kasus korupsi enggan menjadi
jusÂtice collaborator. Toh, mereka nantinya juga akan mendapatÂkan remisi.
"Beban penegak hukum unÂtuk membongkar kasus korupsi menjadi lebih berat tanpa banÂtuan dari pelaku yang bekerja sama," ujarnya.
Untuk diketahui, dalam reviÂsi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM mengusulkan penghapusan syarat
justice collaborator sebagai syarat napi kasus koÂrupsi, narkotika dan terorisme mendapatkan remisi.
Dalihnya, hak istimewa seseorang yang menjadi
justice collaborator sudah diberikan ketika di persidangan, yakni keringanan tuntutan hukuman. Alasan lainnya, jika napi tak diberi remisi, penjara yang sudah
over kapasitas bakal makin sesak. ***
BERITA TERKAIT: