Yakni putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 yang membatalkan pasal 268 ayat 3 KUHAP yang mengatur peninjauan kembali (PK) hanya dapat dilakukan satu kali. Kedua, putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 terkait uji materi pasal 77 huruf (a) KUHAP yang memperluas objek praperadilan. Serta putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016.
"Ketiga putusan itu, orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dapat menguji status hukumnya di pengadilan. Jadi setiap orang yang menjadi tersangka akan mengajukan gugatan praperadilan," ungkap Prasetyo dalam rapat kerja dengan Komisi III di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (13/6).
Dia mengatakan, ketetapan itu berawal dari uji materi yang diajukan istri buronan kasus korupsi Djoko Tjandra, Anna Boentaran terhadap pasal 263 ayat 1 KUHAP. Akibatnya, jaksa tidak bisa lagi mengajukan PK. Namun, Prasetyo menegaskan kalau Kejagung akan mengacuhkan pembatasan pihak yang dapat mengajukan upaya hukum luar biasa tersebut.
"Kami beranggapan putusan MK itu tidak berlaku surut," ujar Prasetyo.
Dia menyatakan akan tetap melakukan upaya PK jika nantinya dibutuhkan. Apalagi ada beberapa putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan mengajukan PK dari kejaksaan dan dapat dijadikan yurisprudensi.
Pada Rapat kerja tersebut, Kejagung menyampaikan rencana kerja anggaran 2017 kepada Komisi III. Jaksa Agung Muda Pembinaan (Jambin) Bambang Waluyo menyampaikan pada 2017 mendatang pihaknya mengalokasikan anggaran sebesar Rp 4,6 triliun. Menurutnya< dari sejumlah pagu biaya kerja itu, kejaksaan berencana menyediakan Rp 463 miliar untuk perkara pidana umum, dan Rp 360 miliar untuk penanganan perkara pidana khusus.
Sedangkan untuk pidana khusus dialokasikan penanganan pidana korupsi di Kejagung untuk 140 perkara dan dua perkara untuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Sedangkan seluruh Indonesia disediakan untuk 1058 perkara korupsi. Pada anggaran penanganan perkara pidana umum, Kejagung juga mengalokasikan untuk pelaksanaan eksekusi 30 hukuman mati.
[wah]
BERITA TERKAIT: