Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak pada Komnas Anak, Reza Indragiri Amriel, mengatakan, di negara-negara yang mempraktikkan kebiri kimiawi, tidak ada dokter yang menunjukkan resistensi.
"Karena di negara-negara yang menerapkan kebiri kimiawi dilakukan berdasarkan keinginan si predator," tulis Reza melalui pesan singkat elektronik, Jumat malam (10/6).
Reza menilai telah terjadi kesalahpahaman terhadap hukuman kebiri. Khususnya kebiri kimiawi.
Kebiri kimiawi, lanjutnya, menjadi solusi efektif hanya ketika si predator secara sukarela menghendaki hal tersebut.
"Saat ada keinginan sukarela untuk mengubah perilaku dari si predator,
itulah yang mengaktivasi efek jera," papar psikolog forensik kriminal tersebut.
Meski demikian kebiri yang dimaksud diartikan sebagai rehabilitasi.
"Jadi, bukan kebiri sebagai pemberatan sanksi," pungkasnya.
Untuk diketahui, berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016, hukuman kebiri kimiawi yang diterapkan di Indonesia, merupakan hukuman tambahan di samping hukuman pokok yang diterima pelaku.
Hukuman kebiri baru akan berlaku jika putusan peradilan mencapai kekuatan hukum tetap (in kracht).
Artinya, tidak ada pemberian hukuman kebiri langsung pada sidang pengadilan tingkat pertama. Sehingga, predator seksual bisa mengajukan banding.
Beberapa negara yang sudah menerapkan hukuman kebiri, antara lain Amerika Serikat, Polandia, Maldova, Estonia, Israel, Argentina, Australia, Korea Selatan, dan Rusia.
[ald]
BERITA TERKAIT: