Ahli: Menkumham Harus Mengesahkan PPP Djan Faridz

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/dede-zaki-mubarok-1'>DEDE ZAKI MUBAROK</a>
LAPORAN: DEDE ZAKI MUBAROK
  • Rabu, 01 Juni 2016, 21:57 WIB
Ahli:  Menkumham Harus Mengesahkan PPP Djan Faridz
prof. laica marzuki/rmol

RMOL. Sidang gugatan uji materiil UU Parpol 2/2011 yang diajukan PPP Djan Faridz digelar di Mahkamah Konstitusi, Rabu (1/6). Kuasa hukum pemohon, Humphrey Djemat menjelaskan, pihaknya mengajukan tiga orang sebagai saksi dan ahli. Mereka yakni, Profesor Laica Marzuki yang bertindak sebagai ahli, sementara Agus Purnomo, Nu'man Abdul Hakim dan Tatang Farhanul Hakim sebagai saksi dan dari pihak DPR ada Arsul Sani.

Dalam keterangannya, Arsul menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran yang dilakukan Menkumham sehubungan dengan masalah dualisme di PPP. Sebab, Menkumham bukan pihak dalam Putusan MA No. 601 yang telah memenangkan PPP Djan Faridz.

Sementara Prof. Laica Marzuki, menurut Humphrey, menjelaskan bahwa Pasal 23. ayat (2), (3) UU Nomor 2 Tahun 2011 dengan Pasal 33 UU Nomor 2 Tahun 2011 mengandung cacat tidak konstitusional bersyarat, sepanjang tidak dimaknai bahwasanya kedua pasal dimaksud harus dipertaut secara bersama-sama, yang mengikat semua pihak, termasuk pejabat pemerintahan guna menaati putusan peradilan yang berkekuatan hukum tetap.

"Artinya MK perlu memberikan penafsiran mengenai penambahan satu pasal yang mengaitkan kedua pasal tersebut sehingga Menkumham wajib mematuhi putusan peradilan yang berkekuatan hukum tetap," terang Humphrey kepada redaksi, sesaat tadi.

Dia melanjutkan, kedua saksi lainnya yang merupakan anggota DPR Komisi II yang membuat UU Parpol tersebut, yaitu Agus Purnomo dari PKS dan Nu'man Abdul Hakim dari PPP menyatakan bahwa tujuan dibuatnya Pasal 33 UU Parpol saat itu adalah agar Menteri (Menkumham) menindaklanjuti dan melaksanakan putusan peradilan yang berkekuatan hukum tetap.

"Keterangan kedua saksi pembuat UU Parpol tersebut juga mematahkan dalih yang dikemukakan oleh DPR melalui Arsul Sani, yang menyatakan Menkumham tidak melakukan pelanggaran karena bukan pihak dalam Putusan MA No. 601," jelas Humphrey.

Berdasarkan keterangan dari Nu’man Abdul Hakim, lanjut dia, justru pemerintahlah yang saat pembahasan RUU sangat agresif menekankan untuk tidak melibatkan kementerian Hukum dan HAM sebagai pihak dalam perselisihan partai politik.

"Sedangkan Saksi Agus Purnomo menambahkan bahwa keputusan pengesahan dari Menkumham bersifat administratif belaka, seraya mengutip pernyataan Dirjen AHU Kementerian Hukum dan Ham saat pembuatan UU Parpol yang menyatakan "jangan libatkan kami dalam konflik parpol, pokoknya selesaikan kami keluarkan administratifnya”. Saksi Agus Purnomo memberikan salah satu contohnya ialah konflik Muhaimin dengan Gus Dur," terang Humphrey.

Sementara Ketua DPW PPP Provinsi Jawa Barat, Tatang Farhanul Hakim, lanjut dia, menjelaskan adanya kerugian akibat ketidakpastian hukum dalam penyelesaian perselisihan partai. Hal itu menyebabkan tidak disahkannya PPP Djan Faridz oleh Menkumham. "Adapun salah satu kerugian tersebut ialah terhambatnya konsolidasi partai dan tidak didapatkannya bantuan dana partai politik yang seharusnya dapat dimanfaatkan," terang Humphrey.

Dia menambahkan, Prof. Laica Marzuki juga menjelaskan bahwa perselisihan parpol bukan sengketa yang bersifat individual keperdataan biasa, namun merupakan sengketa yang bersifat kelembagaan dan bersegi publik, karena lembaga parpol juga menyangkut kepentingan publik. Hal ini dapat dilihat dari disebutnya parpol berkali-kali dalam UUD 1945, salah satunya terkait dengan pengajuan calon presiden.

Jawaban itu dilontarkan Prof. Leica atas pertanyaan yang dilontarkan Majelis Hakim MK.

"Sidang selanjutnya akan digelar kembali pada tanggal 14 Juni 2016 dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli dan saksi dari Pemohon," sambung Humphrey. [sam]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA