Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf menyatakan, saat ini pihaknya masih menyelidiki dugaan kartel yang dilakukan anggota IPOP. Potensi kartel sangat besar karena enam perusahaan tersebut menguasai industri sawit dari hulu hingga hilir. ’
"Saya kira tidak perlu lagi ada IPOP," katanya seperti dikutip dari
JPNN, Minggu (15/5).
Besarnya pengaruh IPOP berpotensi memunculkan persaingan usaha yang tidak sehat.
"’Itu bisa membawa dampak buruk bagi pelaku usaha lain di luar IPOP berupa hambatan masuk (barrier) untuk memasok ke perusahaan anggota IPOP," imbuhnya.
Karena itu, pekan lalu KPPU melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Kementerian Pertanian, serta Kementerian Koordinator Perekonomian agar membubarkan IPOP.
"’Itu rekomendasi kami," imbuhnya.
Di samping itu, KPPU juga sedang mencari bukti atas dugaan kartel yang dilakukan anggota IPOP.
"Saat ini kami masih melakukan penyelidikan atas dugaan itu. Kalau terbukti, masing-masing bisa kena sanksi denda administrasi Rp 25 miliar dan denda pidana Rp 100 miliar," tambahnya.
Artinya, masing-masing perusahaan bisa terkena denda hingga Rp 125 miliar atau total Rp 750 miliar jika dugaan kartel terbukti. Menurut Syarkawi, IPOP hakikatnya adalah kesepakatan antarpelaku usaha. Namun, pengaruhnya sangat besar ke pelaku usaha lain. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akan menyelidiki dugaan praktik kartel oleh perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang menandatangani kesepakatan Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP).
Enam perusahaan sawit raksasa di Indonesia yang menyepakati perjanjian IPOP pada September 2014, yakni Wilmar International Ltd, Cargill Indonesia, Musim Mas, Astra Agro Lestari, Asian Agri dan Golden Agri-Resources. Kesepakatan itu merupakan komitmen keenam perusahaan diklaim sebagai upaya menciptakan praktik industri kelapa sawit yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
[wah]
BERITA TERKAIT: