Begitu dikatakan Kepala Bidang Intel Investigasi Lembaga Pemantau Penyelenggara Negara Republik Indonesia (LPPNRI) , Budi Prihyono, dalam surat elektronik yang diterima redaksi, Jumat (18/12).
Menurut dia, LPPNRI melihat tidak ada keseriusan dari penyidik kepolisian Dit Tipideksus Bareskrim Polri untuk menuntaskan kasus tersebut. "Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kasus tersebut bolak-balik antara kejaksaan ke kepolisian. Kenapa tidak segera dilengkapi petunjuk yang diminta kejaksaan? Karena itu melalui surat terbuka ini, kami minta bantuan Kapolri dan Kabareskrim untuk menginstruksikan jajaran Dit Tipideksus untuk segera menuntaskan kasus tersebut," kata Budi.
Dia jelaskan, apabila pihak Dit Tipideksus tidak dapat menemukan pelanggaran pidana di kasus itu, maka sebaiknya perkara ini dilimpahkan lagi kepada Dit Tipidum Bareskrim Polri yang telah menetapkan tersangka. "Dit Tipidum menyatakan kalau kasus itu ada unsur pidananya, sedangkan Dit Tipideksus malah menyimpulkan bahwa kasus ini bukan kasus pidana? Ada apa ini? Kok ada perbedaan? Ada kekhawatiran ini ada 'pesanan' dari pihak tertentu," duga Budi.
Dengan adanya dua hasil penyidikan yang berbeda ini, pihaknya menangkap kesan adanya 'keberpihakan'. "Kalau dalam satu kasus ada dua hasil berbeda, tidak salah kalau kami menduga ada keberpihakan dari oknum tertentu dalam kasus tersebut. Ada indikasi mau melemahkan atau menghentikan kasus tersebut," ujar Budi.
LPPNRI sendiri menduga dalam kasus tersebut, ada dugaan intervensi dari salah satu oknum petinggi Bareskrim Polri. Menurut Budi, adanya dugaan intervensi tersebut telah dilaporkan ke Propam pada 4/11 lalu. "Kami telah mengkroscek penanganan perkara tersebut di Propam, namun ternyata tidak sesuai harapan. Seharusnya pelapor mendapat SP2HP setelah dalam waktu 25 hari laporan masuk. Kenyataannya sampai sekarang belum mendapatkan suratnya. Saya sudah dijanjikan kembali akan mendapatkan SP2HP setelah 25 hari dari kemarin (17/12). Kita tunggu," jelas Budi.
Informasinya, Dit Tipideksus akan melakukan permohonan kembali gelar perkara kasus tersebut ke Karo Wasidik Bareskrim Polri. "OK, tapi tolong jangan lupa diundang juga pelapor dan Dit Tipidum Bareskrim Polri, biar jelas duduk persoalannya, sehingga tidak berlarutâ€"larut seperti ini," kata Budi.
Ditegaskannya, apabila Dit Tipideksus tidak mampu menangani perkara ini, maka sebaiknya dilimpahkan ke penyidik awal, yang telah mampu memproses penetapan tersangka atas nama Tjipta Fidjiarta dan melakukan penyitaan barang bukti yaitu Hotel BCC Batam melalui Pengadilan Negeri Batam,
Pihaknya juga mempertanyakan kemana hasil operasional Hotel BCC selama ini. "Kasus ini masih sengketa, dan menurut Conti Candra, hitungan penghasilan hotel itu kurang lebih enam miliar per bulan, kemana saja uang hasil keuntungan hotel tersebut. Jangan sampai jadi bancakan, karena nanti pasti akan terbuka dengan sendirinya," ujar Budi.
Sebelumnya, kata Budi, penyidik Bareskrim telah melakukan penghentian penyidikan dengan dikeluarkannya SP3 terhadap kasus tersebut, melalui surat No.S.Tap/55b/VII/2015/Dit Tipideksus tertanggal 1 Juli 2015. Namun, SP3 tersebut dinyatakan tidak sah dan cacat hukum oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, dalam sidang praperadilan yang diajukan Conty Chandra.
"Dalam hal ini, harusnya penyidik malu atas tidak keprofesionalannya, namun apa yang terjadi, tetap tidak dapat melengkapi berkas yang diminta kejaksaan sampai sekarang, mohon perhatian khusus oleh Bapak Kapolri dan Kabareskrim untuk dapat membina penyidik â€" penyidik kita agar dapat seprofesional mungkin dalam menangani perkara," demikian Budi.
Seperti diketahui, dalam putusan praperadilan di PN Jakarta Selatan, Hakim tunggal Tursinah Aftianti telah memerintahkan termohon (Polri) untuk melanjutkan penyidikan dan selanjutnya melimpahkan kembali berkas perkara tindak pidana No: LP/587/VI/2014/Bareskrim, tertanggal 9 Juli 2014 ke Kejagung.
Dalam pertimbangan hakim, disebutkan, bahwa tersangka Tjipta Fudjiarta sebagaimana dilaporkan,tidak membayar kewajibannya dalam pembelian saham hotel BCC tersebut.
Namun secara fakta, Tjipta Fujiarta beserta keluarganya telah menguasai hotel senilai Rp 400 miliar tersebut.
Conti Chandra sendiri pernah menyatakan akan melaporkan kasus ini ke Propam Mabes Polri terkait dugaan penyidik menghilangkan barang bukti penyerahaan berkas kepada jaksa penuntut umum, terutama lampiran berkas bukti transfer asli yang direkayasa Tjipta. Conti Chandra berharap pihak Kepolisian dapat menjalankan amanat rakyat yang tidak terkontaminasi dengan kepentingan-kepentingan pribadi atau golongan, sehingga masyarakat makin percaya terhadap Intitusi Kepolisian.
[sam]