Tuntutan itu disuarakan anggota Komisi II DPR RI, Frans Agung Mula Putra. Anggota Dewan asal Provinsi Lampung itu mengimbau semua pihak yang terkait, baik dari masyarakat maupun PT SIL dan pihak kepolisian bersikap lebih objektif dalam mengambil langkah.
"Jangan sampai langkah-langkah yang diambil semakin memicu terjadinya konflik yang lebih luas. Lebih khusus untuk para aparat penegak hukum terutama pihak kepolisian, saya meminta agar tetap menjaga netralitas sebagai pengayom masyarakat," ujar Frans kepada wartawan, Kamis (15/10).
Dia meminta semua pihak mempelajari awal mula kasus ini dengan terang benderang, dengan kepala dingin. Jika ditelusuri, konflik awalnya dipicu penahanan warga bernama Jamher dan kawan-kawan, di Polsek Gedung Meneng dengan tuduhan melakukan pencurian kayu gelam di KM 29 yang diklaim milik PT SIL.
"Pertama, jika kita telisik kayu gelam itu adalah kayu yang tumbuh secara alami di daerah rawa-rawa. Praktis pohon kayu gelam itu bukan milik PT SIL karena PT SIL memiliki HGU perkebunan tebu, bukan gelam," jelas Frans.
Frans Agung juga mempertanyakan keberadaan HGU PT SIL di KM 29, karena dalam kunjungan kerja spesifik Komisi II pada tanggal 28 September 2015, terkait penyelesaian sengketa tanah di Provinsi Lampung, Komisi II menemukan ada kelebihan penguasaan lahan oleh Sugar Group Company. Yang seharusnya sesuai HGU tercatat seluas 89.956,48 Ha tetapi dalam kenyataan di lapangan mereka menguasai lahan seluas 138.904 Ha.
"Penangkapan Jamher Cs ini, bisa kembali kita jadikan pintu masuk untuk mencari titik terang, apakah wilayah perkara tempat Jamher Cs itu mengambil kayu gelam merupakan wilayah HGU yang sah atau tidak," tegasnya.
Terakhir ia juga menyebut kejadian ini harus dilihat sebagai dampak dari kurangnya kepedulian perusahaan terhadap masyarakat sekitar.
[ald]