Jurus Jitu Kepala BPN Jaksel Atasi Mafia Tanah

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Kamis, 16 Oktober 2014, 14:30 WIB
Jurus Jitu Kepala BPN Jaksel Atasi Mafia Tanah
gembong joko wuryanto/rmol
rmol news logo Tanah adalah milik negara namun harus digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Inilah cita-cita besar yang diusung Badan Pertanahan Negara (BPN).

"Karena itulah profesionalisme kami dituntut, baik dalam hal pelayanan produk BPN, bagaimana BPN bisa memberikan kepastian hukum," kata Kepala Kantor BPN wilayah Jakarta Selatan, Gembong Joko Wuryanto.

BPN di bawah kepemimpinan Hendraman Supandji, menurut Gembong, sebetulnya mengalami beberapa perubahan mendasar, terutama menyangkut penataan struktur ke dalam serta kualitas SDM personilnya.

"Saya rasakan lebih bagus karena semua bermuara pada pelayanan baik yang diharapkan untuk masyarakat," ungkap pria yang memulai karir di BPN (pada saat itu bernama Direktorat Jenderal Agraria) sejak tahun 1984 ini.

Semisal untuk pola jenjang karir, dinilainya cukup berjalan adil dan transparan. Termasuk reward dan punishment-nya. Pegawai struktural BPN paling banter tiga tahun sudah harus pindah ke pos baru. Meski ada juga yang belum genap dua tahun harus dimutasi.

"Bukan maksud saya membandingkan dengan periode (Joyo Winoto, eks ketua BPN) kemarin ndak bagus, kemarin bagus juga. Tapi perbaikannya lebih kelihatan sekarang dan teman-teman juga ikut merasakan," imbuhnya.

Apalagi, lanjut dia, sistem monitoring pelayanan BPN hingga tingkat wilayah sekarang sudah berbasis web. Sistem ini menunjang seluruh proses layanan pertanahan, kinerja kantor, kemajuan program serta pelaporannya dapat terlaksana lebih cepat dan efektif. Pun begitu dengan kepastian hukumnya.

"SOP-nya lebih jelas. Ketika buka web kami, sudah kelihatan oh pekerjaan saya sudah sampai di mana, (masyarakat yang ingin dilayani) tidak harus kembali datang kemari. Tinggal ketik nomornya, password-nya berapa," jelasnya.

Menyoroti keberadaan mafia-mafia tanah, Gembong mengatakan, sebetulnya dari dulu sampai sekarang polanya sama saja. Mafia tanah muncul karena maraknya konflik pertanahan di masyarakat.

"Solusi terbaik bagaimana saya meminimalisir dan tidak menambah konflik maupun perkara. Satu sisi juga saya bagaimana mempercepat produk (sertifikat) tanah," kata magister Ilmu Administrasi Universitas Beragama Moestopo ini.

Belum lama ini BPN memperingati Hari Agraria Nasional ke-54 tahun. Momentum ini bukan sekadar seremoni, kata Gembong. Tapi lebih dari itu, kerja-kerja BPN dituntut bukan hanya profesional dan transparan tapi juga andil menyejahterakan rakyat. Terkait hal ini, jelas Gembong, BPN punya harapan seluruh lahan tanah di wilayah NKRI sudah terdaftar atau bersertifikat pada era 20-25 tahun akan datang. Dengan begitu, sistem hukum pertanahan nasional secara komprehensif mengarah ke hukum positif.[wid]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA