Pasalnya, sudah menjadi rahasia umum, kasus penyuapan terhadap Akil Mochtar selaku Ketua MK ketika itu adalah momentum atas terkuaknya sejumlah kasus tindak pidana korupsi lain yang melibatkan Atut bersama dinastinya.
Demikian disampaikan Juru Bicara Masyarakat Transparansi (Mata) Banten Oman Abdurahman dalam keterangan persnya (Selasa, 2/9).
Karena itu dia menilai, vonis Majelis Hakim kepada Gubernur Banten nonaktif itu melukai rasa keadilan masyarakat. Sebab, hukuman penjara empat tahun ditambah denda Rp 200 juta subsider lima bulan kurungan dari tuntutan selama 10 tahun penjara dan denda Rp250 juta itu terlalu rendah.
"Ini jelas pelecehan terhadap supremasi hukum. Tindakan suap terhadap ketua MK yang melibatkan Atut begitu mengguncang dan membawa dampak negatif yang masif. Vonis itu sama sekali tidak memberikan efek jera," kata Oman.
Oman mengungkapkan, Mata Banten sedang mempertimbangkan rencana melaporkan majelis hakim yang menyidangkan kasus tersebut ke Komisi Yudisial. Pihaknya khawatir terjadi kesalahan penerapan tata acara persidangan serta pelanggaran kode etik.
"Terlebih, putusan atas perkara Atut ini diwarnai dissenting opinion atau pendapat berbeda," bebernya.
Hakim anggota empat, Alexander Marwata, menilai Atut tidak terbukti melakukan perbuatan pidana sesuai dengan dakwaan primer maupun subsider. Karena itu, Atut sedianya dibebaskan.
"Kami berharap jaksa penuntut umum (JPU) mengajukan banding atas putusan tersebut. Upaya hukum itu agar tetap menjaga optimisme publik bahwa tidak ada ruang bagi seorang koruptor untuk diringankan hukumannya," Oman menegaskan.
Terpisah, penggiat antikorupsi Afie Arbinova menganalisa, vonis majelis hakim itu sama sekali tidak mencerminkan pendekatan hukum yang progresif. Seolah-olah majelis hakim mengabaikan beberapa fakta persidangan. "Misalnya soal pertemuan Atut dan Akil di Singapura. Belum lagi soal kepentingan Atut pada pelaksanaan," tandasnya.
[zul]
BERITA TERKAIT: