Anggota Komisi III DPR RI, Sarifuddin Sudding, menyatakan, konsideran hukum atau pertimbangan hukum formal yang melandasi keluarnya Perppu adalah bahwa MK tak bisa lagi diharapkan akibat kasus dugaan korupsi yang dilakukan salah satu hakim konstitusi, Akil Mochtar.
"Kalau melihat dasar pertimbangan ini, kita melihat bahwa setelah penahanan Akil Mochtar terjadi para hakim konstitusi ini masih menjalankan tugasnya, bahkan mereka masih keluarkan tujuh putusan yang sampai saat ini tidak menimbulkan masalah," ujar Sudding dalam diskusi "Ada Ragu di Balik Perppu", di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (19/10).
Pentolan Partai Hanura ini menegaskan bahwa pada intinya Perppu ini bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945). Ia tak membantah bahwa penerbitan Perppu merupakan kewenangan presiden, tapi disitu ada syarat "kegentingan yang memaksa". Masalahnya, penahanan Akil Mochtar tidak menimbulkan kegentingan apapun karena MK masih menjalankan tugas-tugasnya dengan baik.
Ia juga mengkritik isi Perppu yang menyatakan, persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi adalah minimal 7 tahun tak aktif di partai politik. Sudding tegaskan, tidak ada jaminan bahwa orang yang tidak berasal dari parpol maka moralitas dan perlilakunya pasti bersih.
"Jadi ini perbuatan oknum, bukan persoalan orang parpol atau bukan. Kalau kita lihat Patrialis Akbar dan Hamdan Zoelva, dua hakim konstitusi diusulkan presiden dan berasal dari parpol," ujarnya.
Masalah lain dari Perppu Penyelamatan MK adalah di pembentukan panel ahli untuk perekrutan atau seleksi hakim konstitusi. Panel Ahli ini mengambil alih kewenangan tiga lembaga (MA, DPR dan Presiden) yang mengacu pada konstitusi.
Persoalan krusial terakhir adalah soal Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang dibentuk bersama oleh Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Dia ingatkan, MK pernah membatalkan fungsi pengawasan KY terhadap hakim MK yang termuat dalam UU No. 22 Tahun 2004 tentang KY, pada tahun 2006.
[ald]
BERITA TERKAIT: