"Jadi terserah DPR mau melihat bagaimana, itu kan
political game. DPR itu memang harus mengkritik, apalagi zaman pemilu," sindir mantan Staf Ahli Mahkamah Konstitusi, Refly Harun, dalam diskusi "Ada Ragu di Balik Perppu", di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (19/10).
Perppu tentang perubahan kedua atas UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang dikeluarkan Presiden SBY berisi tiga hal. Pertama, menyatakan persyaratan hakim konstitusi tak boleh berasal dari parpol kecuali sudah berhenti minimal tujuh tahun dan itu konsisten atau sejalan dengan putusan MK tentang perekrutan anggota KPU, Bawaslu dan DKPP. DPR mendorong orang parpol bisa dicalonkan menjadi penyelenggaran pemilu kalau saat itu juga sudah berhenti dari parpol. Tapi MK menyatakan harus berhenti minimal lima tahun untuk menjadi penyelenggara pemilu.
Kedua, dalam perekrutan hakim konstitusi memang tiga lembaga DPR, MA dan Presiden tetap punya hak mencalonkan. Tapi sebelum dilantik mereka harus dites dulu oleh Panel Ahli bentukan Komisi Yudisial. Panel ahli tersebut beranggotakan tujuh orang terdiri atas satu orang yang diusulkan oleh MA, satu orang yang diusulkan oleh DPR, satu orang diusulkan oleh pemerintah, dan empat orang yang dipilih oleh Komisi Yudisial (KY) berdasarkan usulan masyarakat yang terdiri atas: mantan hakim konstitusi, tokoh-tokoh masyarakat, akademisi hukum maupun praktisi hukum.
Dan ketiga, hakim konstitusi akan diawasi majelis kehormatan hakim yang sifatnya independen dan diisi orang yang disulkan masyarakat. Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dibentuk bersama oleh Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial dengan susunan keanggotaan: satu orang mantan hakim konstitusi, satu orang praktisi hukum, satu orang akademisi bidang hukum, dan satu orang tokoh masyarakat.
"Saya tantang kepada bapak-bapak dan ibu-ibu, di mana jeleknya Perppu ini? Negara ini aneh kalau yang bagus-bagus dari penguasa malah dikritik," tegasnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: