Diam-diam Netanyahu Libatkan Perusahaan AS Tak Berpengalaman untuk Distribusikan Bantuan Gaza

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/hani-fatunnisa-1'>HANI FATUNNISA</a>
LAPORAN: HANI FATUNNISA
  • Senin, 26 Mei 2025, 12:01 WIB
Diam-diam Netanyahu Libatkan Perusahaan AS Tak Berpengalaman untuk Distribusikan Bantuan Gaza
PM Israel Benjamin Netanyahu/Net
rmol news logo Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kembali menjadi sorotan setelah media Israel melaporkan bahwa ia menunjuk sebuah perusahaan Amerika Serikat yang tidak dikenal dan tidak berpengalaman untuk mendistribusikan bantuan kemanusiaan di Jalur Gaza tanpa sepengetahuan badan keamanan negara. 

Laporan ini pertama kali diungkap oleh harian Haaretz dan dikutip oleh Anadolu Agency pada Minggu, 25 Mei 2025. 

Menurut Haaretz, Sekretaris Militer Netanyahu, Jenderal Roman Gofman, memberikan mandat kepada perusahaan bernama SRS untuk mengoordinasikan pengiriman bantuan kemanusiaan di Gaza. Penunjukan tersebut dilakukan tanpa tender dan prosedur yang tepat, serta tanpa konsultasi dengan badan keamanan nasional.

Surat kabar itu juga menyebutkan bahwa sejumlah pengusaha Israel dan perwira cadangan mendukung langkah Netanyahu untuk melibatkan perusahaan asing dalam urusan sensitif ini. Hingga saat ini, belum ada komentar resmi dari kantor Perdana Menteri mengenai laporan tersebut.

Kontroversi ini mencuat di tengah meningkatnya kebutuhan mendesak bantuan kemanusiaan di Gaza, di mana hampir 2,4 juta warga Palestina kini sepenuhnya bergantung pada bantuan internasional, menurut data Bank Dunia.

Sebelumnya, pada awal Mei, Kabinet Keamanan Israel menyetujui rencana untuk menggunakan kontraktor keamanan swasta dari AS dalam distribusi bantuan kemanusiaan. Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, menyatakan bahwa distribusi ini akan dimulai paling lambat 24 Mei dan dilakukan melalui kerja sama dengan perusahaan Amerika.

Yayasan Kemanusiaan Gaza, yang didukung oleh AS, turut mengonfirmasi keterlibatannya dan menyebut akan mendirikan empat pusat distribusi bantuan di wilayah tersebut.

Namun, rencana ini mendapat kecaman luas dari masyarakat internasional. PBB dan puluhan lembaga bantuan internasional menolak skema distribusi tersebut karena dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, sulit dijalankan secara logistik, dan berpotensi membahayakan warga sipil maupun staf kemanusiaan lokal.

Dalam laporan Radio Angkatan Darat Israel, militer Israel disebutkan berniat untuk mengosongkan Gaza utara dari penduduk sipil dengan membangun pusat-pusat distribusi melalui perusahaan-perusahaan Amerika.

Sementara itu, situasi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk. Pada pekan lalu, seorang anak Palestina dilaporkan meninggal dunia akibat kekurangan gizi, menggambarkan semakin parahnya kelaparan yang melanda wilayah tersebut di tengah pengepungan berkepanjangan.

Sejak Oktober 2023, militer Israel telah melakukan serangan brutal di Gaza, menyebabkan hampir 53.900 warga Palestina tewas, mayoritas di antaranya adalah wanita dan anak-anak.

Kondisi ini juga telah menarik perhatian hukum internasional. Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) pada November lalu mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. 

Selain itu, Israel juga tengah menghadapi gugatan kasus genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait operasi militer yang dilancarkan di Jalur Gaza.

Keterlibatan perusahaan asing dalam penyaluran bantuan kemanusiaan tanpa pengawasan penuh dari lembaga keamanan Israel dinilai bisa memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah sangat genting, serta menambah tekanan internasional terhadap pemerintahan Netanyahu.rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA