Presiden Rwanda, Paul Kagame memimpin peringatan genosida dengan meletakkan karangan bunga di kuburan massal di ibu kota, Kigali.
Dia berdiri didampingi oleh para pemimpin Afrika Selatan dan Ethiopia serta mantan Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton.
Sesuai tradisi, Presiden Kagame akan menyalakan api peringatan pada Minggu malam (7/4) di Kigali Genocide Memorial, tempat lebih dari 250.000 korban diyakini dimakamkan.
Ia juga diperkirakan akan menyampaikan pidato pada hari berikutnya.
Mengutip laporan
Al-Jazeera, selama Minggu Berkabung, musik dilarang diperdengarkan di tempat umum maupun radio.
Sementara acara olahraga dan film dilarang ditayangkan di TV kecuali terkait dengan apa yang disebut “Kwibuka (Peringatan) 30”.
PBB dan Uni Afrika juga akan mengadakan upacara peringatan.
Pembunuhan besar-besaran, yang dimulai pada tanggal 7 April 1994, berlangsung 100 hari sebelum milisi pemberontak Front Patriotik Rwanda (RPF) merebut Kigali pada bulan Juli tahun itu, dan menyebabkan sekitar 800.000 orang tewas, sebagian besar adalah orang Tutsi dan juga orang Hutu moderat.
Pembunuhan Presiden Hutu Juvenal Habyarimana pada malam tanggal 6 April, ketika pesawatnya ditembak jatuh di atas Kigali, memicu amukan orang-orang Hutu bersenjata dan milisi “Interahamwe”.
Korban mereka ditembak, dipukuli, atau dibacok hingga tewas dalam pembunuhan yang dipicu oleh propaganda kejam anti-Tutsi yang disiarkan di TV dan radio.
Menurut angka PBB, setidaknya 250.000 perempuan diperkosa dalam peristiwa tersebut.
Rwanda kini berada di bawah pemerintahan Kagame, yang memimpin RPF, namun bekas kekerasan masih tetap ada, meninggalkan jejak kehancuran di seluruh wilayah Great Lakes di Afrika.
Kegagalan komunitas internasional untuk melakukan intervensi telah menjadi penyebab rasa malu yang berkepanjangan, dimana Presiden Prancis Emmanuel Macron diperkirakan berpidato hari ini untuk menyesali ketidakmampuan Paris, sekutu Barat dan Uni Afrika menghentikan pembantaian tersebut.
Menurut Rwanda, ratusan tersangka genosida masih buron, termasuk di negara tetangga seperti Republik Demokratik Kongo dan Uganda
Hanya 28 dari mereka yang telah diekstradisi ke Rwanda dari seluruh dunia.
Prancis, salah satu tujuan utama tersangka genosida Rwanda telah mengadili dan menghukum enam orang atas keterlibatan mereka dalam pembunuhan tersebut.
Pada tahun 2002, Rwanda mendirikan pengadilan komunitas di mana para korban mendengar pengakuan dari orang-orang yang menganiaya mereka, meskipun pengawas hak asasi manusia mengatakan bahwa sistem tersebut juga mengakibatkan hilangnya keadilan.
Saat ini, KTP Rwanda tidak menyebutkan apakah seseorang itu Hutu atau Tutsi.
Menjelang peringatan 30 tahun tersebut, ada seruan baru dari pengawas hak asasi manusia agar tersangka genosida yang tersisa harus dimintai pertanggungjawaban.
BERITA TERKAIT: