Begitu yang disampaikan peneliti studi Uighur, Imam Sopyan dalam acara konferensi pers dan dialog tentang penderitaan dan kondisi terkini Uighur di Hotel Marrakesh Inn, Jakarta Pusat pada Selasa (19/12).
Menurut Imam, yang dihadapi Uighur saat ini adalah kelangkaan literatur akademik maupun informasi di media massa.
"Tidak ada satupun buku dalam sejarah peradaban Islam yang menceritakan bab khusus soal Uighur," ungkap Imam yang juga berprofesi sebagai dosen sejarah kebudayaan Islam.
Oleh sebab itu, Imam mendorong agar forum-forum diskusi tentang kasus Uighur terus dilakukan guna menambah pengetahuan.
"Ini cara mengisi kekosongan, perlu terus bergulir. Terus melanjutkan produksi pengetahuan, khususnya di bangku-bangku kuliah, forum-forum santri," kata Imam.
Dalam kesempatan itu, Imam juga menjelaskan mengenai ciri khas etnis Uighur. Mereka dikenal dengan
diasporic community, karena etnisnya banyak tersebar di negara-negara besar seperti Inggris, Amerika dan Turki.
"Mereka terus terkoneksi dan rata-rata diaspora Uighur memiliki perekonomian mapan menengah ke atas. Mereka memiliki bisnis restoran, menjadi eksekutif dan beberapa telah menjadi warga negara tetap di sana," ungkapnya.
Dia juga menggarisbawahi perbedaan yang dimiliki antara warga di komunitas Uighur. Dijelaskan Imam, mereka tidak seragam, terutama dalam pandangan politik dan keagamaan, ada yang sekuler, moderat hingga ekstrem.
"Diaspora Uighur memiliki perbedaan, mereka tidak bisa disamaratakan," kata dia.
Menurut Imam, apa yang menyatukan para diaspora dengan etnis Uighur di Xinjiang adalah isu ketertindasan, dan pelanggaran HAM yang terjadi di Turkistan Timur.
BERITA TERKAIT: