Mengutip
Tolo News, Senin (3/6), para perempuan menyebut Taliban sebagai pihak yang paling bertanggung jawab menunjang kebutuhan hidup mereka. Sebab itu, memberikan pekerjaan adalah salah satu jalan keluarnya.
Mashoda yang merupakan satu-satunya tulang punggung keluarga, mengatakan, di Afghanistan sebagian besar pencari nafkah adalah perempuan. Terlebih bagi mereka yang tidak memiliki ayah atau saudara laki-laki.
"Bekerja adalah hak dasar setiap orang. Alih-alih merampas hak perempuan untuk bekerja, pemerintah harus memberi mereka kesempatan untuk bekerja,” tegasnya.
Perempuan lainnya, Sema, yang dulunya bekerja di LSM, mendesak Taliban agar mengizinkan perempuan dan anak perempuan berpartisipasi dalam pembangunan Afghanistan sebagai anggota masyarakat.
"Kami ingin agar larangan kerja dihapus, setelah Hari Raya Iduladha," katanya.
Sementara itu, juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, mengklaim telah mempertimbangkan kembalinya perempuan bekerja, karena masalah syariah, seperti tidak memiliki anggota keluarga laki-laki yang mencari nafkah.
"Kami tengah membicarakan tentang aturan pembatasan bagi yang terkendala. Sementara mereka yang tidak ada masalah syariah, insya Allah situasinya akan menguntungkan," papar Mujahid.
Lebih dari enam bulan lalu, Taliban melarang perempuan bekerja di LSM Afghanistan, karena alasan keagamaan.
Misi Khusus PBB di Afghanistan, Richard Bennett, menyebut, dalam 21 bulan terakhir Taliban telah mengeluarkan lebih dari 50 perintah pembatasan terhadap perempuan dan anak perempuan.
Sejak Taliban mengambil alih kekuasaan pada 2021 lalu, Afghanistan menghadapi krisis kemanusiaan terburuk, dan perempuan menjadi yang paling menderita karena dibatasi hak-haknya.
Program Pangan Dunia, menyebut, Afghanistan sebagai salah satu negara dengan kerawanan pangan ekstrim, sembilan juta orang terdampak kesulitan ekonomi dan kelaparan parah.
BERITA TERKAIT: