Pada Minggu (25/6), tempat pemungutan suara ditutup di seluruh wilayah Guatemala, dengan hasil awal diperkirakan akan segera diumumkan.
Seperti dimuat
Al Jazeera, Senin (26/6), sebelumnya banyak masyarakat yang kecewa akan pemilihan tersebut, karena tiga kandidat oposisi di negara itu telah dieliminasi oleh pihak berwenang.
Salah satu kandidat yang dikeluarkan adalah Carlos Pineda, seorang populis sayap kanan yang memimpin jajak pendapat, ia ditolak oleh pihak berwenang karena dugaan penyimpangan dalam pencalonannya.
Kritik terhadap pengecualian Pineda mulai berdatangan dari Amerika Serikat dan Uni Eropa, yang menyebut keputusan tersebut sebagai kecurangan pemilu.
Untuk itu proses pemilihan telah mendapatkan pengawasan langsung dari internasional untuk memastikan keadilan dalam proses tersebut, meskipun pemilu dilakukan di tengah rasa frustasi yang meluas di masyarakat, karena tingginya tingkat kejahatan, kemiskinan, kekurangan gizi, dan korupsi di Guatemala.
Banyak warga Guatemala yang mengaku merasa sulit menemukan kandidat yang diyakini dapat membawa perubahan yang mereka harapkan.
Hal itu memicu kemungkinan banyaknya surat suara yang kosong, yang berdampak pada tingkat partisipasi pemilih.
Seorang guru berusia 30 tahun, Alejandro Cameros, mengeluh bahwa satu-satunya hal yang berubah di Guatemala adalah nama presidennya, sementara struktur kekuasaan korup yang sama tetap ada.
"Saya memilih sesuatu yang berbeda. Saya yakin itu akan berubah, tetapi perubahan itu perlu datang dari diri sendiri, dan pemerintah perlu melakukan bagiannya,” katanya.
Saat ini, mantan ibu negara dan anggota partai Persatuan Harapan Nasional (UNE), Sandra Torres, diperkirakan akan memenangkan putaran pertama itu, tetapi tidak akan mencapai ambang batas 50 persen yang diperlukan untuk kemenangan langsung dalam kontes ini.
Diperkirakan pemilihan akan memasuki putaran kedua yang akan dilangsungkan pada bulan Agustus mendatang.
BERITA TERKAIT: