Bennett dalam laporannya menyebut perempuan dan anak perempuan Afghanistan menghadapi tindak diskriminasi dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penguasa Taliban.
Hal itu merujuk pada serangkaian keputusan diskriminatif yang melarang anak perempuan mengakses pendidikan menengah dan tinggi, serta sejumlah aturan yang melarang perempuan bekerja di ruang publik bahkan organisasi kemanusiaan.
Sejak Taliban berkuasa, kata Bennett, kerangka hukum dan kelembagaan telah diubah dalam misogini yang paling ekstrem dan telah menghancurkan pembentukan tatanan kesetaraan gender di Afghanistan yang mulai berkembang dalam dua dekade terakhir.
"Taliban memaksakan interpretasi agama tertentu yang tampaknya tidak dimiliki oleh sebagian besar warga Afghanistan," ujar Bennett, seperti dikutip dari
Khama Press pada Selasa (9/5).
Kehidupan perempuan dan anak perempuan di Afghanistan, menurut Bennett, telah hancur akibat tindakan keras Taliban terhadap hak asasi mereka.
“Kami hidup, tapi tidak hidup,” kata Bennett mengutip perkataan salah satu perempuan di sana.
Untuk itu, lanjut Bennett, PBB mendesak Taliban mematuhi dan menghormati kewajiban mereka untuk melindungi dan mempromosikan semua hak perempuan dan anak perempuan.
"Kami mendesak otoritas de facto untuk mematuhi kewajiban mereka di bawah instrumen hak asasi manusia internasional di mana Afghanistan menjadi negara pihak, terutama Convention Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW)," tegasnya dalam laporan.
Dikatakan Bennett, Taliban kerap menekankan bahwa hak-hak perempuan adalah urusan internal negara yang tidak seharusnya diusik oleh pihak luar.
Kendati demikian, Taliban tidak kunjung memenuhi janjinya untuk membuka kembali sekolah perempuan, tetapi di saat yang sama menolak bantuan dari organisasi kemanusiaan untuk mencapai hal tersebut.
BERITA TERKAIT: