Dana pinjaman sebesar Rp 1,9 miliar dolar atau Rp 28 triliun baru akan diberikan kepada Tunisia kalau negara itu bersedia menandatangani diktat yang berisi pemotongan subsidi pangan dan energi serta pengurangan tagihan gaji publik.
Menurut Presiden Saied, pemotongan subsidi dapat menyebabkan keresahan dan memantik kerusuhan mematikan, seperti yang pernah terjadi pada 1983 setelah pemerintah menaikkan harga roti.
Oleh sebab itu, Saied secara jelas menegaskan Tunisia tidak akan mengambil paket bantuan tersebut dari IMF.
"Saya tidak akan menerima apapun dari diktat (yang diajukan IMF)," tegasnya, seperti dimuat
Reuters pada Jumat (7/4).
Karena tidak jadi mengambil pinjaman IMF, Saied mengatakan, Tunisia akan berusaha sendiri dengan meningkatkan produktivitas sektor domestik.
"Orang Tunisia harus mengandalkan diri mereka sendiri," kata Saied.
Meskipun faktanya, menurut anggota pemerintahan Saied, tidak ada alternatif pendanaan selain yang ditawarkan IMF tersebut.
Tanpa pinjaman IMF, Tunisia disebut akan menghadapi krisis neraca pembayaran yang parah.
Saat ini sebagian besar utang bersifat internal, tetapi ada pembayaran pinjaman luar negeri yang jatuh tempo akhir tahun ini. Di mana lembaga pemeringkat kredit mengatakan Tunisia mungkin akan gagal bayar.
Menurut anggaran 2023, Tunisia berencana mengurangi pengeluaran subsidi sebesar 26,4 persen menjadi 2,89 miliar dolar atau Rp 43 triliun.
Namun sejauh ini, pemerintah belum menaikkan harga BBM tahun ini. Tampaknya itu dilakukan untuk menghindari kemarahan masyarakat karena inflasi negara itu sudah mencapai 10,3 persen, tertinggi dalam 4 dekade.
BERITA TERKAIT: