Menurut laporan South China Morning Post (SCMP) pada Senin (6/2), tim dari kampus Tianjin Universitas Penerbangan Sipil Universitas Sains dan Teknik Transportasi China telah dikerahkan awal bulan ini untuk melakukan simulasi AI dari pengembangan dan pengoperasian sebuah jaringan logistik di LCS.
Simulasi jaringan logistik itu diklaim dapat menjangkau 17 hingga 80 fitur di Kepulauan Spratly dan Paracel.
Berkat jaringan logistiknya, China akan dapat mengirim pekerja dan peralatan ke fitur apa pun dalam waktu enam jam setelah angin topan atau keadaan darurat lainnya.
Meski begitu, uji coba jaringan logistik itu menghadapi beberapa kesulitan, termasuk menentukan variabel seperti lokasi pusat transportasi pusat, ukuran dan waktu untuk membangun dermaga, jenis kapal dan pesawat pengangkut, memetakan rute untuk kendaraan tersebut, dan mengambil memperhitungkan variasi dalam kapasitas kargo.
Pada Mei 2021, Biro Riset Nasional Asia mencatat bahwa AI, bersama dengan teknologi lain seperti algoritme, analitik Big Data, dan komputasi kuantum, memungkinkan China memperoleh keuntungan dalam data akan memenangkan perang.
Menurut laporan itu, taktik zona abu-abu China di masa depan mungkin akan menggabungkan lebih banyak teknologi mutakhir, seperti AI dan kemampuan pemrosesan data terkait.
Tetapi, penyebaran AI China dalam strategi zona abu-abu, dinilai memiliki dampak positif dan negatif.
Sebab, meski memberi kekuatan dan keunggulan militer yang besar, penggunaan AI berlebih akan merusak kepercayaan internasional, sehingga harus dilakukan dengan hati-hati.
BERITA TERKAIT: