Presiden Aleksandar Vucic menyadari pemerintahannya saat ini berada dalam posisi yang sulit. Selama sesi khusus parlemen pada Kamis (2/1), ia mengungkapkan bahwa situasinya sangat sensitif, di mana pada satu sisi ia membantu orang-orang Serbia yang berada di di Kosovo dan Metohija, tetapi di sisi lain, ia harus menghindari kecaman dan hukuman Barat. Belum lagi ia harus terus memikirkan kepentingan nasional yang vital lainnya, dan tentu saja semua itu membutuhkan tenaga ekstra dengan tubuh dan pikiran yang sehat.
Bulan lalu utusan UE, AS, Jerman, Prancis, dan Italia bertemu dengan para pemimpin dari kedua negara untuk mencoba meyakinkan mereka untuk menandatangani kesepakatan 11 poin yang dimaksudkan untuk meredakan ketegangan yang berkepanjangan sejak konflik 1998-99.
Vucic mengatakan kepada parlemen, utusan tersebut memperingatkan bahwa jika Serbia tidak menerima proposal tersebut, pembicaraan keanggotaan UE akan dihentikan dan akses ke dana dan investasi pra-aksesi ditolak.
"Keanggotaan UE sangat penting bagi kami. Seseorang tidak dapat berfungsi tanpa sekutu," kata Vucic, seperti dikutip dari
AP. Vucic mengatakan bahwa langkah pertama dalam dialog dengan Pristina adalah pembentukan Asosiasi Kotamadya Serbia, seperti yang disepakati kedua pihak pada 2013. Dan, di bawah rencana internasional, kedua negara harus membuka kantor perwakilan di ibu kota masing-masing dan bekerja untuk menyelesaikan masalah yang belum terselesaikan.
Beberapa anggota oposisi keberatan apa yang dipaparkan Vucic tersebut. Sesi khusus parlemen yang semula tenang berubah tegang dengan beberapa anggota parlemen beberapa kali memotong pidato Vucic.
Pertikaian pun pecah saat perwakilan oposisi terus-menerus melontarkan hinaan kepada Vucic. Ketua Parlemen, Vladimir Orlic memberi peringatan keras tetapi gagal. Selain itu, perwakilan oposisi membawa beberapa spanduk ke aula.
Vucic berusaha menenangkan dengan mengatakan bahwa meskipun rencana saat ini menawarkan sedikit keuntungan bagi Serbia, pembicaraan dengan Kosovo harus dilanjutkan.
Kosovo mendeklarasikan kemerdekaan dari Serbia pada 2008, satu dekade setelah pemberontakan gerilya melawan pemerintahan represif Beograd. Selama dekade terakhir, keduanya telah mengadakan pembicaraan normalisasi di bawah mediasi UE, yang selalu berakhir dengan kegagalan.
Sekitar 100.000 orang Serbia tinggal di Kosovo. Separuh dari mereka tinggal di wilayah utara yang berbatasan dengan Serbia dan menolak untuk mengakui institusi Pristina. Mereka memiliki sistem administrasi dan perawatan kesehatan mereka sendiri.
BERITA TERKAIT: