Kantor Luar Negeri Inggris pada Minggu (1/5) menuduh Moskow menggunakan '
troll factory' atau bahasa lainnya
buzzer, untuk menyebarkan disinformasi tentang perang di Ukraina.
Dikatakan, Rusia menggunakan disinformasi untuk menargetkan politisi di sejumlah negara, termasuk Inggris dan Afrika Selatan.
Dikutip dari
WION, tuduhan itu didasarkan pada penelitian yang didanai Inggris, namun belum dipublikasikan.
Penelitian tersebut mengungkap bagaimana kampanye disinformasi Kremlin mencoba memanipulasi opini publik internasional tentang invasi Rusia ke tetangganya sambil juga merekrut simpatisan.
“Pemerintah Inggris telah memperingatkan mitra internasional dan akan terus bekerja sama dengan sekutu dan platform media untuk melemahkan operasi informasi Rusia," ujar Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss dalam sebuah pernyataan, seperti dimuat
WION, Minggu (1/5).
“Kami tidak dapat membiarkan Kremlin dan
buzzernya untuk menyerang ruang online kami dengan kebohongan mereka tentang perang ilegal Putin," tambah tuduhan Liz.
Inggris menuduh bahwa mereka telah melacak kampanye disinformasi Rusia ke delapan platform, termasuk Telegram, Twitter, Facebook, dan TikTok.
Ia juga menuduh negara itu mencoba merekrut dan berkoordinasi dengan pendukung baru yang kemudian menargetkan profil kritikus Kremlin.
Di sisi lain, Rusia menyebut pemberitaan media barat tentang konflik tersebut bias.
Menurut Kremlin, narasi media Barat mengabaikan kekhawatiran negara bekas Uni Soviet tentang ekspansi NATO dan dugaan penganiayaan terhadap orang-orang berbahasa Rusia di Ukraina.
Ini bukan pertama kalinya Rusia dituduh berpartisipasi dalam kampanye disinformasi.
Sebelumnya pada 2016, AS menuduh Moskow ikut campur dalam pemilihan presiden AS, dimana Donald Trump dituduh menggunakan buzzer Rusia untuk menarik suara Hillary Clinton ke arah Trump.
Kampanye disinformasi tersebut dikenal sebagai
Project Lakhta.
BERITA TERKAIT: