Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

"JFK vs Allen Dulles: Battleground Indonesia", Pertempuran Dua Tokoh Top AS, Emas dan Soekarno

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/amelia-fitriani-1'>AMELIA FITRIANI</a>
LAPORAN: AMELIA FITRIANI
  • Senin, 20 Desember 2021, 14:41 WIB
<i>"JFK vs Allen Dulles: Battleground Indonesia"</i>, Pertempuran Dua Tokoh Top AS, Emas dan Soekarno
Buku "JFK vs Allen Dulles: Battleground Indonesia" karya penulis Greg Poulgrain yang dirilis November 2020 lalu/Net
rmol news logo John F. Kennedy atau juga dikenal dengan akronim namanya, JFK, merupakan tokoh yang memiliki nama sendiri di lembaran sejarah Amerika Serikat dan dunia. Sepak terjangnya bahkan hingga kematiannya tidak lepas dari sorotan dan konspirasi.

Bagi mereka yang menggemari teori konspirasi dan teori pembunuhan JFK, serta kisah yang berkaitan dengan CIA, emas, kudeta militer dan juga Indonesia, ada satu buku menarik yang bisa dibaca. Buku itu berjudul "JFK vs Allen Dulles: Battleground Indonesia", karya penulis Greg Poulgrain yang dirilis November 2020 lalu.

Dalam buku tersebut, ada dua nama besar yang diangkat, yakni Presiden Amerika Serikat ke-35 JFK dan direktur CIA yang paling lama menjabat, Allen Dulles. Keduanya sering bentrok karena masalah intelijen dan keamanan nasional. Namun ada satu "konflik" yang pernah terjadi di antara keduanya, dan tetap ditinggal dalam bayang-bayang sampai sekarang.

Oleh karena itu, Greg Poulgrain mengangkat bayang-bayang itu ke permukaan. Ia menyajikannya dalam buku terbarunya itu. Melalui "JFK vs Allen Dulles: Battleground Indonesia", ia membawa pembaca ke wilayah Indonesia di mana pertikaian "rahasia" antara dua tokoh berpengaruh dalam sejarah ini terjadi.

Merujuk pada sinopsis buku tersebut, pada tahun 1936, sebuah perusahaan yang didirikan Allen Dulles menemukan deposit emas terbesar di dunia di wilayah yang ia sebut "Nugini Belanda" atau Irian Barat yang terpencil. Kemudian pada tahun 1962, Presiden Kennedy turut campur tangan dan mendorong agar "Nugini Belanda" masuk ke dalam wilayah Indonesia saat Presiden Soekarno berkuasa di Indonesia. Pada saat itu, baik Soekarno maupun JFK tidak mengetahui akan emas itu, karena Dulles tidak memberi tahu Kennedy.

Lalu Dulles merencanakan strategi perubahan rezim CIA yang rumit untuk menguasai tidak hanya Indonesia sendiri, tetapi juga sumber dayanya yang besar, termasuk emas. Strategi ini termasuk dorongan untuk memulai "Konfrontasi Malaysia". Namun rencana Dulles itu tenggelam saat Kennedy berencana mengunjungi Jakarta pada awal 1964. Akan tetapi rencana itu musnah setelah tembakan peluru membunuh Kennedy.

Lalu muncul pertanyaan-pertanyaan konspirasi soal apakah Allen Dulles mengatur agar JFK dibunuh untuk menyelamatkan rencananya dan emasnya? Apakah kudetanya untuk emas berhasil?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu kemudian dielaborasi jawabannya oleh penulis Greg Poulgrain. Menggunakan catatan arsip sebagai dasar, ia menambahkan bukti dari mulut ke mulut dari orang-orang yang terlibat langsung, seperti Dean Rusk dan orang lain yang bekerja dengan Presiden Kennedy serta Allen Dulles pada saat itu, atau orang yang bersama Michael Rockefeller ketika dia menghilang secara misterius di "Nugini Belanda" selama seluruh urusan tersebut terjadi.

Ulasan Buku "JFK vs Allen Dulles: Battleground Indonesia"

Buku tersebut mengundang perhatian publik luas dari berbagai kalangan. November 2021 lalu, ada sebuah ulasan menarik terkait buku itu yang ditulis oleh Michael Le Flem. Ia merupakan seorang peneliti, penulis, dan musisi independen. Ia juga merupakan seorang profesor sejarah dan filsafat di Chicago selama sepuluh tahun dan meraih gelar Master dalam Sejarah Intelektual Barat dari Florida State University.

Dalam ulasannya di situs Kennedys and King, Le Flem menguraikan banyak aspek.

"Mari kita nyatakan prasyarat untuk drama yang akan ditulis oleh sejarawan Greg Poulgrain dalam volumenya yang luar biasa, JFK vs Allen Dulles: Battleground Indonesia," tulisnya.

Ia menjelaskan bahwa Soekarno memimpin Indonesia menuju kemerdekaan melawan Belanda dan Jepang. Setelah Perang Dunia II, ia menjadi pemimpin pertama Indonesia yang merdeka.

Tidak hanya itu, Soekarno juga kemudian menjadi salah satu juru bicara terkemuka untuk Gerakan Non-Blok, yakni sebuah gerakan di mana para pemimpin Dunia Ketiga yang tidak ingin terlibat dalam perjuangan Perang Dingin Amerika Serikat dan Rusia tetapi ingin menavigasi pilihan kebijakan luar negeri mereka sendiri bebas dari belitan tersebut.

Pada saat Soekarno memimpin gerakan ini, ada dua orang yang mengawasi politik luar negeri Amerika Serikat, yakni Dulles bersaudara. Mereka adalah John Foster Dulles yang memegang jabatan Menteri Luar Negeri dan Allen Dulles yang memegang jabatan sebagai Direktur Central Intelligence Agency (CIA).

Dalam ulasannya, Le Flem menjelaskan bahwa secara halus, Dulles bersaudara itu tidak menghargai upaya netralisme di Dunia Ketiga. Mereka percaya bahwa tidak ada netralitas dalam apa yang mereka sebut sebagai pandangan dunia Perang Dingin yang kaku dan dogmatis.

Namun sebagian karena ini, CIA mencoba menggulingkan Soekarno pada tahun 1958. Pada waktu itu, upaya ini mungkin operasi agensi terbesar yang pernah ada. Namun, upaya itu diduga tidak berhasil. Bahkan partisipasi Amerika Serikat dalam upaya itu terungkap oleh penembakan jatuh pilot CIA Allen Pope.

Sederhananya, Soekarno tidak menghargai apa yang coba dilakukan Dulles bersaudara. Ia juga tidak menyukai kenyataan bahwa Amerika Serikat tidak akan membantunya dalam usahanya untuk mendapatkan Irian Barat dari Belanda. Soekarno berpikir bahwa wilayah itu berhak menjadi bagian dari wilayah Indonesia dan seharusnya diserahkan pada saat kemerdekaan.

Dengan demikian, lapisan intrik lain ditempatkan di atas situasi ini. Seperti yang dicatat Poulgrain, Allen Dulles dan Belanda mengetahui sesuatu tentang Irian Barat yang tidak diketahui oleh Soekarno. Pada tahun 1936, telah terjadi ekspedisi gunung bersama Belanda dan Amerika Serikat ke titik tertinggi di Irian Barat. Pada saat itu, ikut ambil bagian dalam ekspedisi tersebut adalah ahli geologi Belanda Jean Jaques Dozy.

Laporan Dozy kemudian ditemukan pada tahun 1960 oleh Forbes Wilson dari Freeport Sulphur. Wilson pun mensponsori ekspedisi kedua. Kedua kelompok itu menemukan bahwa ada deposit emas, perak, dan tembaga yang sangat besar di Piramida Carstensz, di tempat yang disebut Ertsberg. Dua mil jauhnya, di padang rumput alpine, ada deposit besar lainnya di daerah yang disebut Grasberg. Nilai gabungan dari sumber daya mineral di kedua tempat itu sangat mengejutkan, bahkan disebut-sebut sebagai "gudang emas terbesar di dunia" pada waktu itu.

Karena itulah Belanda tidak mau menyerahkan daerah itu ke Indonesia. Allen Dulles pun kemudian berusaha menemukan cara untuk membiarkan kepentingan Amerika Serikat masuk dan mengeksploitasi Ertsberg serta Grasberg.

Keterlibatan JFK

Selain Soekarno dan Allen Dulles, tokoh utama ketiga yang terlibat dalam tragedi epik di buku Poulgrain adalah John F. Kennedy, baik saat ia menjabat sebagai senator maupun sebagai presiden.

Pada tahun 1957, Kennedy berpidato di lantai Senat yang mengejutkan saudara-saudara Dulles, yakni Presiden Dwight Eisenhower dan Wakil Presiden Richard Nixon. Ia memperjelas ketidaksetujuannya dengan pemerintah atas dukungan mereka untuk Prancis dalam upayanya untuk mempertahankan koloni Afrika Utara di Aljazair sebagai bagian dari kekaisaran Prancis.

Kennedy membuka pidato itu dengan mengatakan bahwa orang-orang di seluruh dunia ingin merdeka dan musuh kemerdekaan adalah imperialisme. Kennedy mengatakan dia mengerti bahwa era kolonialisme Eropa telah berakhir dan dia bersedia berpihak pada nasionalis Dunia Ketiga di Aljazair melawan sekutu lama Amerika Serikat di Paris. Dengan posisi Kennedy seperti itu, Soekarno dan Gerakan Non-Blok pun memiliki sekutu potensial, yakni Kennedy. Pada pemilu tahun 1960, potensi itu terwujud.

Ketika Kennedy menjabat, ia pun mengatur kesepakatan di mana Soekarno akan mengembalikan pilot CIA Allen Pope ke Amerika Serikat dan Bobby Kennedy, bersama dengan diplomat Ellsworth Bunker akan meyakinkan Belanda untuk memberikan Soekarno wilayah Irian Barat.

Kesepakatan itu disebut Perjanjian New York dan ditandatangani di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada akhir musim panas 1962. Belanda tidak tahu apa-apa tentang Ertsberg. Namun Dulles mengerti apa situasi sebenarnya. Sayangnya, Kennedy dan Sukarno tidak mengetahui situasi itu.

Lalu dengan pembunuhan Kennedy pada tahun 1963 dan penggulingan Soekarno pada tahun 1965, Dulles pun mencapai tujuan awalnya untuk para pendukungnya, Rockefeller.

Setelah itu, Dulles dan Freeport Sulphur pun kemudian menjadi konglomerat pertambangan raksasa Freeport-McMoran. Sang penulis menggambarkan hal tersebut salah satu kekejaman modern yang paling mengerikan, karena melibatkan upaya percobaan pemusnahan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mengakibatkan pengusiran Soekarno dan kebangkitan kediktatoran militer Jenderal Soeharto, yang memerintah Indonesia selama tiga dekade.

Analisis

Le Flem dalam ulasannya menilai bahwa buku Greg Poulgrain tersebut "langka", karena penulis mencapai analisis yang komprehensif dan tajam dari episode sejarah yang telah lama terlupakan, sambil menyampaikan ceritanya dengan kecepatan yang lebih mirip dengan novel thriller daripada tambahan inovatif untuk historiografi CIApada abad pertengahan.

"Kami menyaksikan mereka memainkan permainan catur mereka untuk menentukan masa depan pemerintah Indonesia dan dengan perluasan, kendali atas cadangan minyak lepas pantai negara yang luas, bersama dengan deposit emas terbesar yang pernah ditemukan dalam sejarah manusia," tulis Le Flem.

Ia juga memberikan apresiasi pada buku Poulgrain menonjol karena sejumlah alasan, terutama karena ia menilai Poulgrain bukan hanya berhasil mengutip banyak data sejarah, arsip dan juga dokumentasi namun juga memolesnya menjadi satu kesatuan cerita yang menarik dan tidak membosankan.

"Perhatian khusus harus diberikan pada penggambaran malam 30 September 1965. Malam itu mungkin disamakan dengan Malam Pisau Panjang, sebagai pengkhianatan murni dan tujuan jahat. Banyak komentator sejarah mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu, yang menciptakan pembalikan sejarah Indonesia," tulis Le Flem.

"Karena wawancara yang dia lakukan dengan beberapa orang yang selamat dari episode gelap itu, Poulgrain memberi kita penjelasan terbaik yang pernah ditulis mengungkap misteri itu. Buku ini layak dibaca hanya untuk bab itu," sambungnya.

Buku ini menyatukan sejumlah besar kepentingan uang, pemain kekuatan internasional, agen rahasia, dan kepala negara yang pada akhirnya memberikan kesan pada pembaca soal adanya pertempuran dua tokoh sentral, yakni JFK dan Allen Dulles.

"Ini adalah keangkuhan dramatis yang brilian dan, ketika dikombinasikan dengan bahan sumber yang banyak dan segar serta wawasan yang memikat dari peneliti kelas satu seperti Dr. Greg Poulgrain, menjadikannya salah satu bacaan terbaik dalam genrenya," tutup Le Flem. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA