Ahli Thailand: Perang Dagang China-AS Bisa Berkembang Menjadi Perkelahian Besar Dan Melibatkan Wilayah Lain

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Selasa, 22 Juni 2021, 07:37 WIB
Ahli Thailand: Perang Dagang China-AS Bisa Berkembang Menjadi Perkelahian Besar Dan Melibatkan Wilayah Lain
Ilustrasi/Net
rmol news logo Perselisihan perdagangan yang pahit antara AS dan China mau tak mau telah berpengaruh bagi kawasan lain, termasuk Thailand yang saat ini tengah berjuang untuk merehabilitasi ekonomi yang rapuh akibat pandemi.

Sejumlah ahli bahkan mengatakan, perang perdagangan antara AS dan China kemungkinan akan meningkat dan menjadi lebih serius di bawah Pemerintahan Joe Biden daripada ketika Amerika dikendalikan Donald Trump.

Terutama ketika perang itu difokuskan pada defisit perdagangan dan pelanggaran kekayaan intelektual.

"Ini bisa menjadi era perang dingin baru dan kita mungkin melihat aksi nyata mulai tahun depan," kata Aat Pisanwanich, direktur Pusat Studi Perdagangan Internasional di Universitas Kamar Dagang Thailand, seperti dikutip dari Bangkok Post, Senin (21/6).

Tahun ini, pemerintah AS diperkirakan mempersiapkan rencananya untuk melawan China dengan mengusulkan banyak undang-undang seperti Undang-Undang Persaingan Strategis tahun 2021 dan Undang-Undang Inovasi, yang bertujuan untuk mengekang pengaruh Beijing yang semakin besar di dunia.

Aat mengatakan, pada KTT G7 baru-baru ini, Biden telah mendekati sekutu AS di Eropa untuk menyiapkan dana untuk melawan China dalam politik internasional, ekonomi, pembangunan infrastruktur.

Sementara Beijing sendiri bersumpah untuk melawan dan meloloskan Undang-Undang Anti-Sanksi Asing untuk membalas apa yang dianggapnya tindakan diskriminatif oleh negara lain.

"Thailand perlu dengan hati-hati menyeimbangkan rantai pasokan China dan AS," kata Aat.

"Otoritas yang bertanggung jawab harus memperhatikan dan bersiap mengenai tiga kategori produk," katanya.

Kategori pertama adalah produk di mana Thailand menikmati surplus perdagangan atas AS, termasuk produk pertanian dan pertanian olahan, mesin, peralatan listrik, makanan laut, produk karet dan sayuran dan buah-buahan olahan.

"Kategori lainnya adalah produk yang berdampak pada lingkungan, seperti kelapa sawit dan karet," katanya.

Kategori ketiga adalah produk dengan pasar masa depan yang besar, seperti kecerdasan buatan, semikonduktor, sirkuit listrik, robot, teknologi informasi, kesehatan, dan biosains.

"Untuk kategori pertama, Thailand harus mewaspadai tindakan pembalasan baru terhadap produk Thailand," kata Aat.

"Untuk kategori kedua, Thailand harus mempersiapkan langkah-langkah proteksionis, terutama untuk produk-produk buatan pabrik yang mengeluarkan kadar karbon monoksida tinggi, seperti energi dan produk-produk terkait energi," ujarnya.

Sementara Wakil Ketua Federasi Industri Thailand (FTI), Kriengkrai Thiennukul mengingatkan bahwa perang dagang China-AS bisa saja berkembang dan melibatkan wilayah lain.

"Konflik dapat berkembang dari perang dagang AS-China menjadi perkelahian yang lebih besar yang melibatkan wilayah lain," kata Kriengkrai.

Namun, anggota G7 Jerman, Prancis dan Italia mengindikasikan bahwa mereka tidak mengambil sikap bermusuhan terhadap China, tetapi hanya ingin membangun keseimbangan kekuatan antara G7 dan China.

"Ketiga negara ini dan China saling bergantung secara ekonomi," katanya.

China membeli mesin dan teknologi dari Jerman, sementara Italia dan Prancis memperoleh pendapatan dari turis China.

Kriengkrai percaya AS, Inggris dan Kanada mengambil pendekatan yang lebih antagonis dengan China.

Anggota G7 mengutip pelanggaran hak asasi manusia Beijing terhadap minoritas Uighur dan kebijakan perdagangan China yang diduga tidak adil sebagai alasan utama di balik rencana B3W (Build Back Better World) mereka.

"Jika ini lebih dari sekadar perang dagang, Thailand mungkin akan terlibat dalam permainan politik," katanya.

FTI telah mendesak pemerintah Thailand untuk memantau konfrontasi dan mendasarkan tindakannya pada kepentingan nasional.

"Kebijakan ekonomi dan politik harus menyeimbangkan China dan G7," kata Kriengkrai.  rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA