Prinsip tersebut membuat ASEAN pada akhirnya menjadi pasif dalam menanggapi situasi di Myanmar saat ini. Alhasil, jika akhirnya ASEAN tidak dapat memberikan kontribusi, maka kewibawaannya akan terpengaruh.
Namun ada cara lain yang dapat dilakukan oleh negara-negara ASEAN untuk memberikan tanggapan atas situasi di Myanmar saat ini.
Menurut dosen hubungan internasional dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Rahmi Fitriyanti, negara-negara ASEAN dapat mengandalkan sektor swasta, seperti ormas dan perusahaan untuk memberikan tanggapan.
Secara khusus, Rahmi mengatakan, Indonesia memiliki peluang yang besar untuk meningkatkan pengaruh di kawasan jika berhasil menangani situasi di Myanmar. Salah satunya adalah boikot produk yang diekspor oleh militer Myanmar untuk memberikan tekanan.
"Meskipun ekspor Indonesia ke Myanmar tidak sebesar ke Thailand, Myanmar lebih banyak mengekspor ke Indonesia. Secara sepihak, Indonesia bisa memboikot produk-produk Myanmar," ujarnya dalam
RMOL World View bertajuk "Ketar-Ketir Kudeta Militer Di Myanmar" pada Senin (15/2).
Boikot sendiri bukan dilakukan oleh pemerintah, tetapi publik atau masyarakat. Lebih lanjut, publik juga dapat menggalang dukungan untuk memboikot produk Myanmar dari negara-negara tetangga.
"Karena militer Myanmar punya perusahaan militer. Jadi memboikot produk-produk yang diekspor oleh perusahaan militer akan menekan," sambungnya.
Selain boikot, Indonesia juga dapat mendorong komunitas internasional untuk memberikan tanggapan atas situasi di Myanmar.
Secara khusus, Rahmi menyebut Indonesia dapat memanfaatkan pemerintahan Amerika Serikat (AS) saat ini yang dipegang oleh Presiden Joe Biden.
Dengan prinsip Partai Demokrat yang fokus pada isu-isu HAM, maka Indonesia dapat menyuarakan AS untuk lebih bisa menekan militer Myanmar.
Selain kepada AS, Indonesia juga dapat membawa isu Myanmar di Dewan Keamanan PBB. Namun, Rahmi menyebut terdapat China dan Rusia yang memiliki hak veto dan tampaknya memberikan dukungan kepada militer Myanmar.
BERITA TERKAIT: