Serupa Tapi Tak Sama, Kekacauan Di Capitol Hill Mengingatkan Pada Pemilu AS 1876

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/amelia-fitriani-1'>AMELIA FITRIANI</a>
LAPORAN: AMELIA FITRIANI
  • Kamis, 07 Januari 2021, 11:32 WIB
Serupa Tapi Tak Sama, Kekacauan Di Capitol Hill Mengingatkan Pada Pemilu AS 1876
Ilustrasi Capitol Hill/Amelia Fitriani
rmol news logo Keengganan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk mengakui kekalahannya dalam pemilu presiden akhir 2020 lalu berimbas besar kepada para pendukungnya.

Rabu sore (6/1) sejumlah massa pendukung Trump merangsek masuk dan membuat kekacauan tengah Sidang Kongres di Capitol Hill, Amerika Serikat.

"Trump tidak mengakui kekalahannya, dan ini berefek besar terutama untuk memberikan sinyal kepada para pendukungnya untuk mengikuti keinginannya itu (tidak mengakui kekalahan)," ujar Research fellow dari Loyola University Chicago Amerika Serikat, Ratri Istania kepada redaksi Kantor Berita Politik RMOL pada Kamis (7/1).

Dia menyinggung kembali fenomena serupa tapi tak sama yang pernah terjadi dalam penggalan sejarah Amerika Serikat.

"Ini yang saya perhatikan, sudah ada presedennya. Amerika Serikat pada tahun 1876 itu ada kejadian yang hampir sama tapi backgroundnya pada saat itu adalah masa rekonstruksi dan konteksnya adalah perbudakan," jelas Ratri.

"Kejadiannya hampir sama seperti apa yang terjadi saat ini. Tapi kemudian kompromi terjadi sehingga tidak muncul pecahnya civil war kedua," sambungnya.

Namun apa yang terjadi di Negeri Paman Sam hari ini, sambung Ratri, konteksnya berbeda dengan masa lalu.

"Amerika Serikat ceritanya sudah meninggalkan masa gelapnya, masa slavery (perbudakan). Amerika Serikat kini muncul sebagai negara demokrasi paling hebat, paling besar di dunia. Tapi apa yang terjadi di Capitol Hill hari terutama oleh pendukung Trump sudah merupakan perbuatan kriminal," paparnya.

Pasalnya, mereka merangsek masuk ke Capitol Hill tempat diilakukannya verifikasi kemenangan Joe Biden dalam pemilu presiden Amerika Serikat akhir 2020 lalu.

"Ini sebenarnya formalitas saja untuk mensertifikasi bahwa Biden adalah pemenang pemilu, untuk kemudian tanggal 20 nanti dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat," kata Ratri.

"Tapi karena mereka (pendukung Trump) mengacau dan bahkan ada yang mati tertembak, ini bukan lagi protes biasa," tambahnya.

Jika saja Biden di tengah kekacauan tadi tidak mendesak Trum untuk meminta para pendukungnya mundur secara damai, bisa jadi kekerasan di Capitol Hill terus berlangsung.

"Trump juga walaupun kemudian muncul dan meminta para pendukungnya untuk mundur, dia tetap saja tidak mengakui kekalahannya," ujar Ratri.

"Dia tetap mengatakan bahwa suara pemilihan sudah dicuri. Pesannya yang disampaikan Trump tetap saja tidak menerima kekalahan itu," tandasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA