Rancangan Undang-undang (RUU) tersebut dikeluarkan oleh pemerintahan Perdana Menteri Jacinda Ardern yang mulai memimpin sejak Oktober 2017. RUU Aborsi nantinya akan menggantikan UU Aborsi lama yang telah berlaku sejak 1977 di Selandia Baru.
Jika sudah dinyatakan sah, maka aborsi bukan lagi sebuah malpraktik kesehatan. Meski demikian, wanita yang akan melakukan aborsi diharuskan melakukan konseling. Penyedia 'layanan' aborsi pun harus bisa memastikan kondisi kesehatan dan mental pasiennya.
Selain itu, seorang wanita hanya boleh melakukan aborsi jika ada rekomendasi dari dokter. Minimal ada dua dokter yang menyatakan bahwa jika kehamilan tersebut dipertahankan maka akan membahayakan kesehatan mental maupun fisik si ibu.
"Aborsi yang aman harus diberlakukan dan diatur sebagai salah satu masalah kesehatan. Seorang wanita memiliki hak untuk memilih apa yang terjadi pada tubuhnya," jelas Menteri Kehakiman Andrew Little.
RUU tersebut akan segera diputuskan pekan ini. Ardern mengatakan, bahwa pemungutan suara akan dilakukan pada Kamis (8/8) secara tertutup.
Hingga saat ini memang belum ada batasan secara hukum mengenai waktu kehamilan yang 'diperbolehkan' untuk aborsi. Namun menurut Badan Perencanaan Keluarga Selandia Baru, aborsi sangat jarang terjadi pada masa kehamilan di atas dua minggu.