Meskipun di wilayah ini AS memiliki jumlah terbanyak pangkalan militer di luar negri, seperti pangkalan angkatan udara di Dahran dan Jeddah, Saudi Arabia. Di Kuwait ada pangkalan udara Ali Salem dan Ahmed Jaber. Di Bahrain ada pangkalan laut Divisi V dan pangkalan udara Sheikh Isa. Di Qatar ada pangkalan udara Udeid. Di Uni Emirat Arab (UEA) ada pangkalan udara Dhafra. Di Oman ada pangkalan udara Al Mushna, Taimur, dan Al-Masir. Semua ini tidak membuat negara yang dulu disebut Persia ini menjadi gentar.
Daftar pangkalan militer Amerika akan bertambah panjang bila ditambah dengan pangkalan-pangkalan militernya yang masih utuh dan aktif yang berada di Irak dan Afghanistan, dua negara yang memiliki perbatasan darat dengan Iran. Belum lagi jika ditambah kapal induk kelas Nimitz bernama John C.Stennis dan Theodore Roosevelt, yang beroperasi di kawasan ini. Masing-masing kapal ini mampu mengangkut 5.000 kru dan 130 pesawat.
Sejak 1979 ketika Ayatollah Khomaini mengambil alih kekuasaan dari Syah Reza Pahlevi yang didukung Amerika dan Israel, hubungan Amerika-Iran tidak pernah tenang dan selalu bergejolak oleh berbagai isu, baik menyangkut ekonomi, politik, maupun militer. Akan tetapi selalu saja bisa diredam oleh para pemimpin kedua belah pihak.
Kini saat Donald Trump menghuni Gedung Putih, kebijakan Amerika terhadap negara lain sering tak terduga dan berubah-ubah tanpa pertimbangan yang matang. Gaya urakan sang Presiden yang terkesan ‘
semau gue’ sering diumbar melalui akun media sosial pribadinya. Sehingga banyak negara tidak mudah mengikuti iramanya.
Karena itu, tidak berlebihan jika saat ini muncul kekhawatiran meletusnya perang baru di Timur Tengah yang dipicu oleh Amerika dan Iran. Sampai seluas mana perang akan melebar, dalam arti negara-negara mana saja yang akan ikut terseret bila perang betul-betul meletus, masih sulit diprediksi.
Ada sejumlah indikasi yang mendukung kekhawatiran ini. Pertama, hubungan Amerika-Iran mendadak panas, sejak Donald Trump secara tiba-tiba menyatakan keluar dari kesepakatan nuklirnya dengan Iran, diikuti oleh sejumlah sangsi ekonomi dan politik. Meskipun negara-negara lain yang ikut menandatangani kesepakatan ini, termasuk sekutu Amerika di Eropa menentangnya, Trump tidak peduli dan jalan terus.
Kedua, pada saat yang bersamaan Amerika mengalami kegagalan dalam upayanya yang didukung oleh sejumlah negara Arab Teluk untuk melengserkan Presiden Suriah Basyar Al Assad. Yang menjadi sumber utama kegagalannya ternyata faktor Iran yang mendukung total putra Hafez Al Assad ini. Kegagalan ini tentu menampar wajah Amerika sebagai salah satu negara super power, mempermalukan, sekaligus menurunkan wibawanya, khususnya di kawasan Timur Tengah.
Ketiga, upayanya untuk meningkatkan tekanan terhadap negara yang dipimpin para mullah ini, dengan cara menetapkan Pasukan Garda Revolusi dalam daftar teroris, ternyata direspon dengan langkah serupa oleh Teheran. Pasukan Amerika yang berada di Timur Tengah dimasukkan ke dalam daftaf teroris, dan Amerika sebagai negara pendukung teroris. Dengan demikian tentara Amerika yang berada di kawasan ini bisa menjadi sasaran yang legal untuk diserang.
Ada paling tidak tiga sekenario bila perang benar-benar terjadi: Skenario pertama, perang pecah di kawasan Teluk. Skenario ini hanya mungkin terjadi bila sejumlah negara Arab kaya di Teluk, terutama dari Saudi Arabia dan UAE bersedia memberi dukungan politik maupun finansial.
Israel tentu paling menyukai skenario ini, mengingat negara Zionis ini tidak perlu berkeringat, di samping juga tanpa risiko dalam menyelesaikan ancaman Iran yang terus menghantuinya. Akan tetapi banyak negara harus membayar mahal, mengingat Iran memiliki kemampuan menutup selat sempit antara wilayahnya dengan negara Oman yang dikenal dengan nama Selat Hormuz. Implikasinya, tersumbatnya aliran minyak dan gas yang dibawa keluar dengan tanker dari negara-negara Teluk.
Apalagi Oman kini menunjukkan kecondongan yang semakin kuat ke Israel yang menjadi musuh Iran, ditandai dengan kunjungan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu ke salah satu negara Arab kaya di kawasan Teluk ini.
Skenario kedua, Iran menyerang Israel melalui tentaranya yang berada di Suriah, didukung Hisbullah asal Lebanon, dan milisia lain pendukung rezim Basyar Al Assad. Pemerintah Suriah tentu berkepentingan untuk mendukungnya, disebabkan dua hal. Pertama, inilah saatnya membalas kecongkakan Israel yang selama ini selalu menjadikan negaranya bulan-bulanan. Kedua, peluang untuk mengambil kembali Dataran tinggi Golan yang diduduki Israel sejak 1967.
Skenario ketiga, Iran mengajak Turki yang juga kini dimusuhi Amerika dan memiliki sikap yang sama terhadap Israel. Jika skenario yang terakhir ini terjadi, maka bisa dibayangkan serunya perang yang akan terjadi. Yang pasti Israel akan kewalahan menghadapinya.
Akan tetapi yang paling menentukan sekenario mana yang akan terjadi, tentu akan kembali pada Amerika sendiri. Selama ini setiap kali negara Paman Sam ini melibatkan diri dalam perang besar di Timur Tengah, jika memenuhi dua syarat, memberikan keuntungan ekonomi dan politik.
Apalagi kini Gedung Putih dihuni oleh Donald Trump yang sangat pragmatis, ditambah pelajaran buruk yang diterima Amerika dari perang Irak dan Afghanistan masih menyisakan trauma seluruh rakyatnya. Sampai kini Washington DC masih terus mencatat bertambahnya daftar janda dan anak yatim akibat prajuritnya yang tidak kembali untuk selamanya dari menjalankan tugas di dua wilayah ini.
Akan tetapi, bila eskalasi dan retorika terus meningkat, diikuti manuver tentara masing-masing di lapangan, kemudian bila terjadi insiden sekecil apapun, bisa menyulut emosi dan berkembang tidak terkendali.
Wallahua'lam.
Penulis pengamat politik Islam dan demokrasi
BERITA TERKAIT: