Asia Timur UnikSenin menjelang siang (11/3), saya sedang mengajar mata kuliah Politik Asia Timur di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, ketika mengetahui pertama kali soal pembatalan segala dakwaan untuk Siti Aisah dalam kasus ini.
Tema kuliah kemarin adalah keamanan bersama di kawasan Asia Timur. Saya berikan proposisi bahwa
security (keamanan) adalah situasi dimana
defense (pertahanan) lebih besar daripada ancaman (
threat).
Kawasan Asia Timur unik. Semua negara di kawasan itu memiliki keunggulan, punya cerita tidak enak satu sama lain di masa lalu. Tidak ada organisai kawasan yang menyatukan mereka. Setiap negara membangun sistem pertahanan yang khas, dan dengan aliansi bersama pihak lain di luar kawasan, setiap negara di Asia Timur punya kemampuan deterrence atau penangkal yang memadai.
Lalu, seorang teman dari negara ketiga mengirimkan foto Siti Aisah diapit Menteri Hukum-HAM dan Dubes RI untuk Malaysia. Juga foto pesawat jet pribadi yang akan membawa Siti Aisah ke Halim Perdanakusuma.
Saya senang hanya melihat kedua foto itu. Di benak saya terlintas berbagai pembicaraan dengan banyak pihak mengenai peristiwa yang terjadi di KLIA.
Awalnya, saya tidak berminat bicara tentang kasus ini. Alasan pertama dan utama, saya tidak tahu detail kasus ini. Tidak berada di TKP, tidak pernah bicara langsung dengan saksi mata, pihak yang dituduh sebagai pelaku, juga tidak pernah melihat tubuh korban dan membaca hasil otopsi.
Sementara gelombang pemberitaan dengan frame pembunuhan politik sudah sedemikian gencarnya. Bagai tsunami. Menggulung semua akal sehat. Membuat banyak pihak, juga wartawan seperti kehilangan akal. Menelan bulat-bulat.
Saya baru tertarik bicara setelah seorang wartawan bertanya kepada saya, apakah benar di lantai dua restoran Pyongyang di Kelapa Gading adalah tempat rekruitmen mata-mata Korea Utara.
Saya tahu restoran itu. Pernah beberapa kali makan disana. Pejabat resmi pemerintah juga ada yang pernah kesana menghadiri kegiatan resmi Kedubes Korea Utara.
Tetapi atas pertanyaan yang disampaikan, saya tidak tahu sama sekali. Ini pertanyaan, atau jebakan. Sempat terlintas pertanyaan itu di benak saya. Tetapi saya yakin, ini hanya perasaan saja. Teman wartawan yang menanyakan hal itu tentulah benar-benar ingin bertanya.
Maka jawaban saya adalah: saya tidak tahu. Setahu saya di sebelah kiri restoran Pyongyang ada restoran Korea Selatan. Jangan-jangan lantai dua restoran Korea Selatan itu juga tempat rekruitmen mata-mata Korea Selatan.
Demi membaca jawaban saya, teman wartawan yang mengajukan pertanyaan tertawa. Dan tawa itu ditulisnya. Saya kira, dia benar-benar tertawa di ujung sana.
Tak lama setelah peristiwa itu, restoran Pyongyang tutup. Saya dengar, restoran ditutup karena pemilik gedung tidak memperpanjang kontrak. Mungkin khawatir terseret-seret juga dalam kasus ini. Ini dugaan saya.
Saya sempat mengajukan pertanyaan kepada seorang teman yang saya rasa tahu banyak hal mengenai Korea Utara. Terlepas dari kasus di KLIA, apakah memang ada sosok yang namanya Kim Jong Nam di Korea Utara.
Teman saya ini mengatakan, Kim Jong Nam memang ada. Dulu sekali namanya sering terdengar. Sempat diberi jabatan di semacam institusi kebudayaan. Sampai ia menikah dengan wanita yang tidak disukai sang ayah, Kim Jong Il. Lalu tersingkir.
Tetapi, teman saya ini tidak tahu apa yang terjadi kemudian. Dia juga tidak tahu apakah Kim Jong Nam memang terusir dan seterusnya.
Saya pernah tanyakan hal ini kepada Dubes An. Apakah ada sosok yang bernama Kim Jong Nam? Jawaban Dubes An tidak bisa saya ganggu gugat: kami tidak bisa membicarakan keluarga VIP.
Untuk menutup tulisan yang bisa panjang ini, saya ingin mengatakan satu hal. Peristiwa di KLIA terjadi dua tahun lalu. Warganegara Indonesia, Siti Aisah yang awalnya dituduh ikut dalam pembunuhan warganegara Korea Utara -- siapapun dia -- akhinya dibebaskan dari semua dakwaan. Ini bukan vonis tidak bersalah. Ini adalah pencabutan dakwaan. Berarti yang dituduhkan padanya tidak ada.
Dua tahun setelah itu, banyak hal yang telah terjadi terkait Korea Utara dan ketegangan di Asia Timur.
Bulan April tahun lalu, untuk pertama kali Kim Jong Un bertemu dengan Presiden Korea Selatan Moon Jaein di Panmunjom. Lalu di bulan Juni 2018 Kim Jong Un bertemu dengan Presiden Donald Trump di Singapura. Ini dua terobosan penting di papan catur Asia Timur.
Moon Jaein telah pula berkunjung ke Pyongyang, Korea Utara. Di hari terakhir, mereka berkunjung ke puncak Gunung Paektu. Gunung sakral bagi bangsa Korea. Gunung yang melambangkan semangat nenek moyang mereka. Gunung Paektu dan Gunung Hala di Pulau Jeju, Korea Selatan, adalah dua penjuru persaudaraan Korea.
Dua minggu lalu, saya menghadiri KTT Korea Utara dan AS di Hanoi, Vietnam. Di akhir pertemuan, Kim Jong Un dan Donald Trump tidak menandatangani kesepakatan apapun. Padahal semua hal pada draft telah disepakati.
Banyak pihak yang mengatakan itu adalah kegagalan. Tetapi saya kira, itu adalah keberhasilan keduanya untuk saling mengenal. Ada tema yang tidak atau belum dibahas, mendadak diajukan di atas meja perundingan.
Hal itu tidak mengurangi semangat keduanya untuk tetap menjalin komunikasi demi perbaikan hubungan. Komentar pihak Korea Selatan pun positif. Juga memandang, pertemuan Hanoi menampilkan sisi lain sebuah keberhasilan diplomasi.
Saya berharap pencabutan atau pembatalan dakwaan untuk Siti Aisah ini juga bermakna positif dan konstruktif terhadap perdamaian di Semananjung Korea.
Penulis adalah wartawan senior, dosen politik Asia Timur.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.